Pendekar Wanita Berdarah Tionghoa Kala Lawan Belanda, Hidup Terlonta-Lonta di Ibukota Demi Sesuap Nasi

Pendekar Wanita Berdarah Tionghoa Kala Lawan Belanda, Hidup Terlonta-Lonta di Ibukota Demi Sesuap Nasi

The Sin Nio atau dikenal dengan Princes Mulan Indonesia--

The Sin Nioke Jakarta bertujuan untuk mengurus hak pensiunnya, karena memang semestinya adalah hak seorang pejuang kemerdekaan.

BACA JUGA:Bangunan Belanda Yang Masih Bermafaat Hingga Sekarang, Ada Yang Dibangun Lewat Kerja Paksa

BACA JUGA:Indonesia Dianggap Menjadi Penjajah Timor Leste? Ini Awal Mula Presiden Soeharto Rebut Timur-Timur

Tahun 1973, Sin Nio sampai di Jakarta dan menumpang tinggal selama 9 bulan di Markas Besar Legiun Veteran Republik Indonesia di Jalan Gajah Mada.

Setelah itu untuk cari sisuap nasi, ia terpaksa hidup menggelandang di Ibu kota, satu pilihan menyedihkan bagi seorang pejuang bangsa. 

Bayangkan perempuan pejuang berusia sekitar 60 tahun harus hidup menggelandang di tengah kerasnya kehidupan ibukota. Kehujanan kepanasan tanpa tempat tinggal yang jelas.

Perjuangan panjang akhirnya membuahkan hasil, pada tanggal 29 Juli 1976 Sin Nio mendapatkan pengakuan sebagai pejuang yang turut aktif mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

Surat Keputusan pengakuan The Sin Nio dikeluarkan oleh Mahkamah Militer Yogyakarta. Surat keputusan ini ditandatangani oleh Kapten CKH Soetikno SH dan Lettu CKH Drs.Soehardjo, juga sebagai saksi mata ditandatangani ooeh Mayor TNI-AD Kadri Sriyono (Kastaf Kodim 0734 Diponegoro dan Dr R.Brotoseno (dokter militer pada Resimen 18 Divisi III Dipinegoro.)

BACA JUGA:Plafon Rp 25.000.000, Rp 30.000.000 Hingga Rp 50.000.000 KUR BRI Tak Perlu Jaminan, Langsung Cair

BACA JUGA:Cara Baca Pesan WA Yang Sudah Dihapus dan Tips Membaca Pesan WA Tanpa Ketahuan Pengirimnya

Sayangnya, SK tersebut tidak diiringi dengan hak pensiun untuk dirinya, sehingga Sin Nio harus bertahan sebagai gelandangan di seputaran pintu air dekat masjid Istiqlal Jakarta.

Beberapa tahun kemudian yaitu 1981, uang pensiun sebesar Rp28.000 per bulan diperolehnya, namun jelas, uang tersebut tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. 

Hingga dirinya wafat, ia memilih menetap di Jakarta dan bersikeras tidak Kembali pulang lantaran tak ingin merepotkan anak-anaknya. Ia meninggal pada 1985 di usia 70 tahun di kawasan kumuh di dekat Stasiun Juanda, Jakarta.*

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: