Hukum Islam sudah menjadi living law di kalangan masyarakat Islam, bahkan sebelum diberlakukannya positivisme Hukum Islam oleh pemerintah kolonial Belanda, sebagaimana paradigmanya dalam aliran hukum positivisme, pemerintah kolonial Belanda membentuk peradilan formal termasuk untuk urusan yang berkaitan dengan hukum Islam, namun dengan terminologi yang tidak tepat yaitu priesterrad, yang dapat kita artikan dengan pengadilan pendeta.
Kemudian pada perkembangan selanjutnya, legitimasi keberadaan peradilan agama sebagai suatu instansi peradilan yang diakui dalam sistem ketatanegaraan tertuang dalam staatsblad 1882 Nomor 153, dan mulai pertama kali dipergunakan istilah “peradilan agama” dengan sebutan priesterrad atau raadagama, dengan tetap menempatkan kewenangannya dibawah pengawasan ”landraad” dimana pelaksanaan putusan pengadilan agama dalam bentuk excecutoire verklaring, sehingga pada waktu itu, peradilan agama tidak berwenang melakukan eksekusi ataupun penyitaan.
Namun dengan dinamika sedemikian rupa, mengapa nama Pengadilan Agama yang dipilih oleh stakeholder pada saat itu, bukan bernama Pengadilan Islam? Kenapa tidak dipilih nama “Islam” apa gerangan dengan kata tersebut sehingga Pengadilan Agama menggunakan nama “agama” bukan “Islam” padahal keberadaannya mencerminkan eksistensi hukum Islam di Nusantara, dan bukan hukum agama lain.
Sedikit gambaran, tidak sedikit orang yang merasa terganggu terutama sejak zaman pemerintah kolonial Belanda dan antek-anteknya hingga sekarang ketika mendengar kata Islam, Islamisasi atau kata kata semacamnya, bahkan juga di kalangan orang Islam itu sendiri tidak sedikit yang antipati mendengar kata-kata tersebut. Istilah-istilah tersebut layaknya westernisasi, sekularisasi, liberalisasi, Kristenisasi dan lain sebagainya adalah istilah-istilah terminologi belaka.
Istilah itu mengandung konsep yang bermuatan nilai, kepercayaan atau ideologi. Istilah ini juga merupakan gerakan penyebaran nilai, agama, ideologi, cara berfikir. Dalam Islam tentu terdapat istilah “Islamisasi”. Meski istilah ini baru dipopulerkan oleh al-Attas pada tahun 1970 an, prakteknya telah berjalan sejak zaman Nabi.
Sejatinya Islamisasi adalah karakter Islam yang sesungguhnya, dan bukan akulturasi. Islam bukan produk budaya Arab. Sebab praktek kehidupan Jahiliyah di Islamkan.
Menikah disucikan, berdagang ditertibkan, berperang diatur, ibadah ditentukan dengan tata cara khusus, kemusyrikan di tauhidkan.
Di dunia Melayu Islam mencerahkan pandangan mitologis menjadi rasional. Buktinya banyak aspek kehidupan bangsa Melayu menggunakan istilah-istilah Arab.
Nama dan jumlah hari dalam seminggu adalah hasil Islamisasi. Istilah keilmuan Islam seperti nalar, fikir, ilmu, jasmani, lahir, batin, kalbu, sadar, adil, zalim, dsb diambil dari worldview Islam. Masa itu Islamisasi berjalan wajar tanpa peperangan dan resistensi.
Namun, kini istilah “Islamisasi” menjadi menakutkan dan ditolak banyak pihak secara tidak wajar. Bahkan gerakan yang berbau Islam pun segera diberi label Islamisasi.
Pemberlakuan undang-undang pornografi, (PERDA) anti perjudian, pelacuran, minuman keras, dsb. dianggap gerakan Islamisasi. Ketika Prof. M. Salim mengadakan pameran 1001 Inventions – Discover The Muslim Heritage In Our World, di Museum of London, ia segera dituduh melakukan Islamisasi Inggris.
Di Perancis mengenakan jilbab juga dianggap Islamisasi. Jadi dunia tidak saja menolak istilah Islamisasi, tapi segala gerakan yang berbau Islam adalah upaya Islamisasi dan itu dianggap “berbahaya”.
Kasus di atas menjalar kepada gerakan Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer (Islamization of contemporary knowledge). Tidak sedikit professor yang “alergi” dengan istilah ini. Alasannya beragam. Fazlur Rahman menganggap ilmu itu netral dan tidak perlu di-Islamkan.
Abdussalam peraih Nobel Fisika dari Pakistan juga sinis, “jika ada Ilmu Islam, maka disana nanti akan ada ilmu Hindu, ilmu Buddha, ilmu Kristen.” Ada pula yang menyindir jika Islamisasi ilmu berhasil, maka nanti akan ada pesawat terbang Islam, sepeda motor Islam, kereta api Islam dsb.
Di Indonesia para professor yang enggan menerima istilah itu mengganti dengan istilah “Pengilmuan Islam” atau integrasi ilmu. Konon untuk sekedar menghindari arogansi yang terkandung pada istilah “Islamisasi”.
Tapi ini justru mengesankan inferiority complex, seakan Islam itu tidak ilmiah. Sedang yang kedua masih menyisakan banyak hal.