Menyibak Eksistensi Peradilan Agama

Kamis 13-04-2023,11:49 WIB
Reporter : Redaksi
Editor : Ahmad Kartubi

Sebab integrasi sesuatu yang kontradiktif jelas tidak mungkin. Integrasi, karena itu. harus berakhir dengan Islamisasi.

Benarkah ilmu itu netral? Jawabnya tentu tidak. Para saintis Barat sekelas Thomas Kuhn percaya bahwa ilmu itu sarat nilai.

Jika netral mengapa ilmu politik Amerika tidak laku di Rusia, dan mengapa ilmu waris dalam Islam tidak dipakai saja di Barat.

Sejarah ilmu membuktikan bahwa ilmu tidak lahir dari ruang hampa. Artinya, masing-masing worldview berpengaruh besar dalam menentukan asumsi dasar ilmu, meski dalam beberapa aspek metodologinya bisa sama. David K Naugle dalam bukunya Worldview, History of Concept juga sepakat.

Namun menurutnya pengaruh worldview terhadap epistemologi berbeda-beda pada setiap disiplin ilmu. Ilmu sosial lebih banyak dibanding ilmu eksak.

Karena ilmu tidak netral itulah maka Islamisasi menjadi mungkin. Konsepnya, menurut Professor Naquib al-Attas, cukup sederhana. Pertama mengeluarkan elemen-elemen asing dari setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang tidak sesuai dengan Islam. Tentu elemen itu tidak sedikit, karena menyangkut proses epistemologi, seperti interpretasi fakta-fakta, formulasi teori, metode, konsep, aspek-aspek nilai dan etika, dan lain sebagainya.

Kedua, memasukan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci Islam kedalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan. Konsep-konsep itu adalah konsep tentang din, manusia (insan), ilmu (ilm dan ma’rifah), keadilan (‘adl), amal yang benar (amal sebagai adab) dsb.

Karena Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer itu menjadi mungkin, maka sebagai contoh, Islamisasi Ilmu ekonomi konvensional itu sebuah keniscayaan. Kini seluruh dunia menerima ekonomi Islam (syariah) itu ada.

Dan itu sebenarnya adalah hasil integrasi dan Islamisasi yang telah, sedang dan terus berlangsung. Kalau kita konsisten, maka Islamisasi berbagai disiplin ilmu kontemporer juga mungkin.

Hanya masalahnya, tidak semua ilmuwan Muslim menguasai epistemologi dan tahu kerancuan epistemologis ilmu-ilmu sekuler.

Wajar jika mereka anti Islamisasi. Mungkin benar kata pepatah Arab bahwa manusia itu adalah musuh dari apa yang tidak diketahuinya (al-nas a‘daa’u ma jahiluu).

Kembali lagi dengan penamaan Pengadilan Agama, yang menurut hemat penulis semata-mata hasil kebijakan politik Pemerintah kolonial Belanda yang dipengaruhi oleh Snouck Hargronye melalui teori “receptie”nya, yang tidak ingin istilah “Islam” muncul ke permukaan karena akan merubah paradigma masyarakat muslim nusantara pada saat itu yang memang sangat membenci pemerintah kolonial Belanda, dan umat Islam juga menjadi ancaman terbesar bagi eksistensi kolonialisme Belanda di Indonesia, sehingga sedapat mungkin nama “Islam” diendapkan dan dipendam sedalam mungkin hingga masyarakat muslim sendiri tidak menyadari mereka telah dijauhkan dari Hukum Islam.

Hingga Republik Indonesia merdeka, upaya untuk menghapuskan eksistensi Peradilan Agama tetap berlangsung, sampai dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948 yang memposisikan peradilan agama sebagai bagian di bawah peradilan umum dan Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, dimana Pemerintah tetap mempertahankan eksistensi peradilan agama meskipun banyak opini beredar untuk “menghapus” segala urusan agama dari urusan pemerintahan.

Hadirnya Undang-Undang No 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang No. I Tahun 1974 tentang Perkawinan, PP No. 28 Tahun 1977 Tentang pewakafan tanah milik, dan UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dan puncaknya dengan lahirnya Undang-Undang No 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama telah memperkuat eksistensi Peradilan Agama sebagai bagian tatanan peradilan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Begitupun dengan lahirnya amandemen UUD 1945, jika selama ini bunyi pasal 24 UUD 1945 tidak dengan secara tegas menyebutkan keberadaan peradilan, maka dalam amandemen tersebut dengan tegas menyebutkan dalam pasal 24 ayat (1) UUD 1945 bahwa peradilan agama adalah salah satu lingkungan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman.

Begitupun dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Kekuasaan Kehakiman, yang menjadi tonggak sejarah kebijakan bahwa, segala urusan mengenai peradilan baik yang menyangkut teknis yudisial maupun urusan organisasi, administrasi, dan finansial berada satu atapdi bawah kekuasaan Mahkamah Agung.

Dengan adanya kebijakan ini peradilan agama yang semula untuk urusan organisasi, administrasi, dan finansial dibawah Departemen Agama sejak berlakunya PP No. 5 Tahun 1946 segera dialihkan kepada Mahkamah Agung. Dan akhirnya pada tanggal 30 Juni 2004 berdasarkan UU No. 4 Tahun 2004 Jo. Kepres RI No. 21 Tahun 2004 Peradilan Agama secara resmi dialihkan dari Departemen Agama ke bawah Mahkamah Agung. Pengalihan ini populer dengan nama “Sistem Satu Atap” (One Roof System).

Kategori :