Meskipun demikian, mengapa istilah peradilan agama tetap dipertahankan hingga sekarang? Apakah karena mengingat para pengikut pemikiran Snouck Hargronye masih banyak yang secara konsisten ingin memisahkan urusan agama dari urusan pemerintahan dan dengan kata lain ingin menghapus eksistensi peradilan agama, atau karena karena unsur politis yang tidak stabil di negeri kita, sehingga agar supaya keberadaan peradilan agama ini diterima oleh masyarakat Indonesia secara umum, namanya tidak menggunakan istilah “Islam” atau apapun istilah itu.
Mengapa sebagai umat Islam yang notabene pemeluk agama mayoritas tidak mempunyai kekuasaan untuk merubah nama peradilan yang mengurusi urusan agama Islam dengan sebutan yang lebih spesifik, sehingga istilahnya tidak rancu, mengingat komentar Menteri Agama yang baru yang mengatakan Kementerian Agama adalah kementerian untuk semua agama, apakah peradilan agama juga ke depannya akan mengurusi urusan agama yang lain juga? Tentu ini akan menjadi diskursus yang panjang mengingat sejarah panjang keberadaan lembaga peradilan agama ini.
Kokohnya keberadaan peradilan agama, lebih condong disebabkan karena dorongan kultur dan aspek sosial masyarakat nusantara yang mayoritas muslim, peradilan agama merupakan sui generis bagi umat Islam Indonesia.
Sepanjang masyarakat muslim Indonesia taat dan patuh melaksanakan hukum agamanya dalam kehidupan sehari-hari, sepanjang itu pula eksistensi peradilan agama akan tetap ada, meskipun seandainya secara politik maupun secara hukum melalui peraturan perundang-undangan dihapuskan dari sistem ketatanageraan Indonesia, peradilan agama akan tetap eksis, terlepas ia diberi nama apa.*