Menyibak Eksistensi Peradilan Agama
Iman Herlambang Syafruddin (Hakim Pengadilan Agama Mukomuko)--
Hadirnya Undang-Undang No 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang No. I Tahun 1974 tentang Perkawinan, PP No. 28 Tahun 1977 Tentang pewakafan tanah milik, dan UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dan puncaknya dengan lahirnya Undang-Undang No 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama telah memperkuat eksistensi Peradilan Agama sebagai bagian tatanan peradilan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Begitupun dengan lahirnya amandemen UUD 1945, jika selama ini bunyi pasal 24 UUD 1945 tidak dengan secara tegas menyebutkan keberadaan peradilan, maka dalam amandemen tersebut dengan tegas menyebutkan dalam pasal 24 ayat (1) UUD 1945 bahwa peradilan agama adalah salah satu lingkungan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman.
Begitupun dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Kekuasaan Kehakiman, yang menjadi tonggak sejarah kebijakan bahwa, segala urusan mengenai peradilan baik yang menyangkut teknis yudisial maupun urusan organisasi, administrasi, dan finansial berada satu atapdi bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
Dengan adanya kebijakan ini peradilan agama yang semula untuk urusan organisasi, administrasi, dan finansial dibawah Departemen Agama sejak berlakunya PP No. 5 Tahun 1946 segera dialihkan kepada Mahkamah Agung. Dan akhirnya pada tanggal 30 Juni 2004 berdasarkan UU No. 4 Tahun 2004 Jo. Kepres RI No. 21 Tahun 2004 Peradilan Agama secara resmi dialihkan dari Departemen Agama ke bawah Mahkamah Agung. Pengalihan ini populer dengan nama “Sistem Satu Atap” (One Roof System).
Meskipun demikian, mengapa istilah peradilan agama tetap dipertahankan hingga sekarang? Apakah karena mengingat para pengikut pemikiran Snouck Hargronye masih banyak yang secara konsisten ingin memisahkan urusan agama dari urusan pemerintahan dan dengan kata lain ingin menghapus eksistensi peradilan agama, atau karena karena unsur politis yang tidak stabil di negeri kita, sehingga agar supaya keberadaan peradilan agama ini diterima oleh masyarakat Indonesia secara umum, namanya tidak menggunakan istilah “Islam” atau apapun istilah itu.
Mengapa sebagai umat Islam yang notabene pemeluk agama mayoritas tidak mempunyai kekuasaan untuk merubah nama peradilan yang mengurusi urusan agama Islam dengan sebutan yang lebih spesifik, sehingga istilahnya tidak rancu, mengingat komentar Menteri Agama yang baru yang mengatakan Kementerian Agama adalah kementerian untuk semua agama, apakah peradilan agama juga ke depannya akan mengurusi urusan agama yang lain juga? Tentu ini akan menjadi diskursus yang panjang mengingat sejarah panjang keberadaan lembaga peradilan agama ini.
Kokohnya keberadaan peradilan agama, lebih condong disebabkan karena dorongan kultur dan aspek sosial masyarakat nusantara yang mayoritas muslim, peradilan agama merupakan sui generis bagi umat Islam Indonesia.
Sepanjang masyarakat muslim Indonesia taat dan patuh melaksanakan hukum agamanya dalam kehidupan sehari-hari, sepanjang itu pula eksistensi peradilan agama akan tetap ada, meskipun seandainya secara politik maupun secara hukum melalui peraturan perundang-undangan dihapuskan dari sistem ketatanageraan Indonesia, peradilan agama akan tetap eksis, terlepas ia diberi nama apa.*
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: