Pria Suku Mosuo Hanya Untuk Dipermainkan dan Kerja Keras, Kekuasaan Penuh di Tangan Wanita

Pria Suku Mosuo Hanya Untuk Dipermainkan dan Kerja Keras, Kekuasaan Penuh di Tangan Wanita

Pria Suku Mosuo Hanya Untuk Dipermainkan dan Kerja Keras, Kekuasaan Penuh di Tangan Wanita--

RADARMUKOMUKO.COM - Pria sekedar bekerja untuk membajak sawah, bangun rumah atau mungkin saja untuk memanjat kelapa. Mereka sama sekali tak memiliki kuasa untuk menentukan dan memutuskan.

Bahkan pria Suku Mosuo yang ada negeri China ini tak pernah menjadi orang tua atau ayah dari anak-anaknya.

Dalam suku ini perempuan paling berkuasa. Mosuo sering disebut Na di kalangan mereka sendiri, adalah sebuah kelompok etnis kecil yang tinggal di provinsi-provinsi Yunnan dan Sichuan, Tiongkok, dekat perbatasan dengan Tibet. 

Kebanyakan dari mereka tinggal di wilayah Yongning, sekitaran Danau Lugu, Labai, Muli, dan Yanyuan.

Beda dengan yang ada di Indonesia dan sebagian besar negara dan suku lainnya, dimana fungsi lelaki dan perempuan sudah tergambar dengan jelas. 

BACA JUGA:Benteng Suku Buton Dari Batu Karang Putih Telur Getah Pohon, Peluru Belanda Tidak Tembus

BACA JUGA:Jangan Sampai Tidak Tahu, Ini 11 Suku Penghasil Wanita Cantik Mempesona Idaman Pria

Lelaki yang bekerja mencari nafkah, sementara perempuan identik dengan pekerjaan rumah tangga. Walau banyak kaum perempuan yang bekerja, namun pada hakikatnya stigma kaum hawa adalah melakukan pekerjaan rumah. 

Suku Mosuo penganut matriarkat, dimana perempuan kedudukannya lebih tinggi daripada lelaki. Mungkin ini satu-satunya suku atau negara yang mana perempuan punya kedudukan lebih tinggi.

Di suku ini wanita telah memimpin Mosuo selama 2.000 tahun jadi wanita memiliki hak untuk memutuskan segalanya.

Sedangkan pria justru tidak dihormati.

Dilansir dari berbagai sumber, Suku Mosuo juga tidak mengindahkan perkawinan. Mereka justru menjalankan sistem Walking Marriage atau Axia.

Walking Marriage berarti pernikahan berjalan. Artinya, masyarakat Suku Mosuo bebas memilih pasangan seksual, tanpa perlu adanya ikatan pernikahan.

Dalam tradisi ‘Walking Marriage’, tiap wanita yang sudah mengalami menstruasi berhak memilih dan berganti-ganti pasangan. Sang wanita hanya tinggal menunggu pria yang ingin ‘melamar’nya di kamar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: