Kisah Kelam Wanita Era Belanda, Menjadi Babu, Jika Cantik Dijadikan Gundik, Habis Manis Sempah Dibuang

Kisah Kelam Wanita Era Belanda, Menjadi Babu, Jika Cantik Dijadikan Gundik, Habis Manis Sempah Dibuang

Kisah wanita menjadi babu dan gundik belanda-Ilustrasi-istimewa radar mukomuko

Tidak ada baiknya, jika sudah berumur dinilai kurang menarik, terus dipekerjakan untuk pekerjaan kasar. Babu wanita yang masih muda dan memiliki wajah cantik dan bersih, akan dijadikan gundik atau wanita simpanan tanpa ikatan pernikahan.

Mungkin selama menjadi gundik yang dikenal dengan "Nyai" statusnya sedikit lebih tinggi, karena tidak banyak beban pekerjaan kasar dilakukan, seperti mencuci, masak dan bersih-bersih. 

Namun harus melayani nafsu pria Belanda kapanpun diinginkan. Jika hamil dan memiliki anak, tidak ada yang bertanggungjawab.

Posisi menjadi seorang nyai atau gundik termasuk menjadi suatu pilihan menarik bagi segolongan perempuan pribumi.

Hal itu karena kondisi sosial dan ekonomi yang sangat menekan bagi penduduk peribumi pada saat itu.

Jika tidak menemukan perempuan yang sesuai dari babu di rumahnya, biasanya orang Belanda akan memerintah kepada salah seorang pembantu laki-lakinya agar mencarikan seorang gundik.

Tidak jarang jasa penyalur Gundik menjadi semacam kedok dalam melakukan tindak kejahatan terhadap perempuan pribumi di Batavia.

BACA JUGA:KUR BRI Rp 50 Juta ke Bawah, Ajukan Rp 30 Juta Cicilan Mulai dari Rp 500 Ribuan

BACA JUGA:Jika Ingin Download Video di TikTok, IG, Twitter, Facebook dan YouTube Begini Cara Yang Mudah

Hingga terjadi penculikan, pemerkosaan, dan penjualan perempuan dengan iming-iming disalurkan menjadi nyai dan mendapat gaji dan belanja tiap bulannya.

Tak dipungkiri juga banyaknya keluarga pribumi yang bersedia menjual anak gadisnya kepada para bujangan Eropa demi mendapatkan imbalan materi.

Pekerjaan sebagai babu bagi seorang perempuan pribumi merupakan harapan sebagai suatu jalan untuk

memperoleh tingkat kehidupan yang lebih tinggi.

Hal ini dikarenakan seorang babu kerap dimanfaatkan juga untuk melayani kebutuhan seksual tuan Eropa-nya.

Djoko Soekiman, dalam bukunya Kebudayaan Indis (2011) menjelaskan, pada tahun 1831, rumah tangga Mayor Jantje memerlukan 320 orang budak. 30 orang di antara mereka bertugas sebagai pemain musik yang serba bisa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: