Di Blongkeng bahkan akan dibangun menara PT Makmur Elok Graha (MEG), pengembang pulau tersebut.
"Total area Rempang itu 17 ribu hektar, 10 ribu hektar merupakan hutan lindung. Jadi hanya 7 ribu hektar bisa digunakan, dimana tak semua bisa dipakai, ada fasilitas umum maksimal 60 persen. Jadi telah diputuskan, bahwa prioritas pembangunan yakni untuk pabrik (Xinyi) seluas 2300 hektar," ungkapnnya.
Dengan kata lain, relokasi masyarakat di pusatkan di area yang akan menjadi pabrik tersebut.
"Jadi kita setujui yang 2.300 hektar dulu,"imbuhnya.
Kemudian ia menceritakan mengenai hak-hak yang akan diperoleh warga yang bersedia direlokasi.
"Dapat tanah 500 meter persegi bersertifikat hak milik, Rumah tipe 45 senilai rp 120 juta.
Uang sewa rumah sebesar Rp 1,2 juta perbulan dan uang makan 1,2 juta perjiwa selama masa relokasi sementara ke Batam, saya berkomitmen, uang sudah disiapkan BP Batam, saya beri garaso,"ungkapnya.
Bagi yang punya rumah dengan nilai di atas Rp 120 juta, maka selisihnya akan dibayarkan. "Dan bagi yang punya tanah di atas 500 meter persegi, misal 1000 meter persegi, maka akan dihitung sesuai aturan untuk dibayarkan," katanya lagi.
Sementara itu tokoh masyarakat Rempang Gerisman Ahmad mengatakan pihaknya selama ini memperjuangkan Marwah Melayu agar tidak hilang dari Pulau Rempang.
Namun ia bisa memahami pentingnya menjaga marwah negara, saat Indonesia menandatangani persetujuan investasi dengan Xinyi Group di China beberapa bulan lalu.
"Sehingga itu (investasi Xinyi) menjadi marwah negara yang dipertaruhkan. Saya minta kita bersama-sama mencerna dan berpikir dengan kepala dingin. Kalau hal ini tidak dipenuhi, maka negara kita akan menjadi jelek di mata dunia," katanya.
Ia mencoba percaya bahwa Bahlil yang mewakili negara tidak akan pernah menyesengsarakan rakyatnya karena investasi.
"Tapi sisi baiknya, kita sudah diakui layak dapat legalitas berupa SHM," pungkasnya.*