Oleh karena itu, kekerasan yang dilakukan dalam sejarah kolonialnya tidak disebutkan di buku-buku sekolah yang dibaca murid-murid Belanda di highschool.
Sebaliknya, periode VOC justru digambarkan sebagai puncak kebanggaan nasional karena - meskipun negara yang sangat kecil di Eropa - Belanda menjadi negara terkaya di dunia pada abad ke-17 ('Zaman Keemasan Belanda'), tidak hanya dalam hal perdagangan dan militer tetapi juga dalam hal seni dan sains. Namun, pelanggaran HAM jarang disoroti.
Contoh yang menarik adalah waktu mantan Perdana Menteri Belanda Jan Peter Balkenende menjadi jengkel saat diskusi dengan Dewan Perwakilan Belanda (Tweede Kamer) pada tahun 2006.
Menanggapi pandangan pesimistis DPR Belanda tentang masa depan ekonomi Belanda, Balkenende mengatakan "mari, kita optimis, mari kita menjadi berpikiran positif kembali.
Mentalitas VOC itu! Pandangan yang melampaui perbatasan!" Ini adalah contoh dari memori selektif yang menandakan rasa bangga yang berasal dari periode VOC.
BACA JUGA:Ternyata Ada Beberapa Negara yang Tidak Memiliki Hari Kemerdekaan, Salah Satunya Adalah Inggris
Namun, setelah Balkenende mengatakan demikian memang banyak orang politisi Belanda, media Belanda, dan rakyat Belanda yang mengkritik pernyataan Balkenende itu.
Juga penting untuk disebutkan bahwa makin banyak orang Belanda sadar akan sejarahnya yang penuh kekerasan (termasuk perbudakan).
Misalnya, patung-patung di Belanda yang memuliakan orang-orang dari masa VOC dan masa kolonial - seperti Jan Pieterszoon Coen dan J.B. van Heutsz - telah dibuang atau sangat dikritik oleh penduduk Belanda setempat.
Kasus menarik lainnya adalah permintaan maaf yang dibuat oleh duta besar Belanda untuk Indonesia Tjeerd de Zwaan pada tahun 2013.
Dia meminta maaf atas "ekses yang dilakukan oleh pasukan Belanda antara 1945 dan 1949". Ini agak luar biasa karena ini pertama kali penjabat Belanda minta maaf soal sejarah penjajahan.
Namun, sebelumnya tak pernah Belanda meminta maaf atas semua peristiwa kekerasan yang terjadi sebelum 1945! Bahkan waktu Raja dan Ratu Belanda, Willem-Alexander dan Maxima, mengunjungi Indonesia pada awal 2020, Willem-Alexander dengan gagap meminta maaf atas kekerasan Belanda yang terjadi pada periode 1945-1949 (bukan yang sebelum 1945).*