Sumbang Duo Baleh, Antara Realitas dan Romantisme Masa Lalu
Sumbang Duo Baleh, Antara Realitas dan Romantisme Masa Lalu-Ilustrasi -Berbagai Sumber
Adat dengan syarak ibarat aur dengan tebing
sandar bersandar keduanya
Praktek matrilineal tergambarkan melalui penarikan garis keturunan dan pengelolaan harta pusaka. Pola hidup matrilokal juga masih umum dilakukan. Sepasang suami istri yang baru menikah akan tinggal di rumah keluarga perempuan. Dengan ini, wanita di Minangkabau mendapatkan tempat dan diperlakukan secara terhormat.
Berdasarkan falsafah “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” (ABS SBK), maka bagi orang Minangkabau, menghormati perempuan sama halnya dengan menjalankan perintah agama Islam. Dalam Islam, perempuan sangat dihormati, perempuan adalah ibu yang melahirkan kita, ganerasi di masa lalu, sekarang dan yang akan datang.
Jika dikaitkan dengan ajaran Islam, penghormatan terhadap wanita di Minangkabau sejalan dengan apa yang diajarkan Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadits dikatakan, "Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, beliau berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.'” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548).
Pada masyarakat Minangkabau, wanita dikelompokkan kedalam empat tingkatan berdasarkan ciri fisik, kematangan emosional, dan perannya di dalam masyarakat. Yang pertama adalah batino, seorang wanita yang baru lahir sampai dia menempuh masa kanak-kanak sampai sebelum akil balig. Urutan yang kedua adalah gadih, yaitu wanita dari masa akil balig sampai masa sebelum menikah. Wanita pada urutan ketiga adalah padusi, yaitu wanita yang sudah bersuami. Dan yang terakhir adalah parampuan, yaitu wanita yang sudah memiliki usia lanjut yang dimulai ketika dia sudah menjadi nenek dalam sebuah keluarga.
Sedangkan berdasarkan status sosialnya sebagai seorang ibu, maka wanita disebut juga dengan mande, ande atau mandeh. Sedangkan yang dituakan diantara mereka dan ditunjuk dengan mekanisme adat, disebut juga dengan mande soko. Mande Soko (terkadang juga disamakan dengan Bundo Kanduang) memegang peranan penting dalam menjaga marwah suku atau kaumnya dalam kehidupan masyarakat. Ia dipercaya dalam mengawasi, mengatur segala sesuatu yang terkait dengan tugas wanita secara adat. Ia adalah sumber teladan dan panutan dalam menjaga sikap dan prilaku generasi penerusnya terutama wanita.
Bagi orang Minang, wanita adalah simbol yang terhormat dan harus dijaga. Malu seorang wanita idealnya adalah malu suku atau kaumnya itu sendiri. Sekaitan dengan ini, Parpatih (2002) menggambarkan keadaan tersebut sebagai berikut.
Hino mulia suatu kaum tagantuang dek nan padusi. Tuak parang bisa badamai, tikam bunuah dibari maaf, rabuik rampeh dilimaui. Tapi, kok padusi diagiah malu, jando diguguang urang tabang, gadih tapakiak dalam samak, mako tatutuiklah sagalo pintu damai, tasintak sagalo kaum, jago suku, bangun dubalang, disiko nan cadiak kabapakaro, nan bagak kamalalahan, nan kayo tajun jo harato. Pendeknyo, malu masti tabangkik. Kama hanyuik kama dipinteh, walau ka dalam lauik basah. Dima hilang dima dicari, bia ka suduik-suduik bumi. Tak lalu dandang di aia, di gurun kaditajakan, jiko ndak mungkin di nan lahia, di batin dilaluan.
Maksudnya:
Hina mulianya suatu kaum tergantung oleh wanita. Kalau berperang bisa berdamai, kasus pembunuhan bisa diberi maaf dan seterusnya. Akan tetapi kalau wanita yang sudah diberi malu, akan membuat malu kaum dan suku. Maka semua unsur akan ikut terlibat menyelesaikannya.
Suku bangsa Minangkabau memiliki sitem nilai, norma, atau kearifan lokal (local wisdome) dalam menjaga kehormatan seorang wanita atau perempuan. Sistem nilai tersebut dikenal juga dengan istilah “Sumbang Duobaleh” (Sumbang Duabelas). Sumbang Duobaleh adalah panduan untuk mengatur tingkah laku seorang wanita, agar tidak menyimpang dari kodrat dan status sosialnya di dalam masyarakat. Sumbang, jangga atau cando, adalah perbuatan yang kurang baik dan harus dihindari oleh wanita di Minangkabau karena akan mendatangkan malu bagi suku dan kaumnya. Wanita yang sering melakukan Sumbang Duobaleh dianggap sebagai wanita yang tidak sopan atau dalam istilah Minang indak bataratik.
Seringnya wanita melakukan prilaku sumbang akan membuat dia terjatuh kedalam prilaku salah yang akan menjatuhkan harkat dan martabatnya sebagai wanita terhormat. Dua belas prilaku sumbang yang harus dihindari oleh wanita Minangkabau tersebut adalah (1) sumbang duduak, (2) sumbang tagak, (3) sumbang bajalan, (4) sumbang kato, (5) sumbang caliak, (6) sumbang makan, (7) sumbang pakai, (8) sumbang karajo, (9) sumbang tanyo, (10) sumbang jawek, (11) sumbang bagaua, dan (12) sumbang kurenah.
Sumbang Duobaleh secara umum mengatur wanita dalam berprilaku dalam kehidupan sehari-hari. Jika prilaku sumbang ini dapat dihindari, maka seorang wanita dapat dipandang baik dan dihormati di dalam suku dan kaumnya. Seperti yang dikatakan dalam pepatah adat :
Budi baiak baso katuju, muluik manih kucindan murah. Dibagak urang ndak takuik, dikayo urang ndak arok, dicadiak urang ndak ajan, dirancak urang ndak ingin, di budi urang takanai. Sasuai bak bunyi pantun, Babelok babilin-bilin, dicapo tumbuahlah padi, dek elok urang tak ingin, dek baso luluahlah hati. Nan kuriak Lundi , nan merah sago, nan baiak budi, nan indah baso.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: