Namun jatuhnya Pulau Tengah ke tangan Belanda melalui pertempuran sengit dan paling lama dalam sejarah perjuangan alam Kerinci, maka lambat laun alam Kerinci terintegrasi ke dalam lingkaran administrasi ciptaan Belanda, bumi Kerinci berhasil diduduki Belanda melalui proses yang tidak mudah.
Catatan sejarah mengungkapkan alam Kerinci baru dapat dimasuki dan diduduki penjajahan Belanda pada tahun 1906 melalui pertempuran hebat dari akhir tahun 1902 -1903 hingga awal tahun 1906, dengan demikian alam Kerinci hanya dijajah Belanda tidak lebih dari 40 tahun.
Walau hanya 40 Tahun dijajah Belanda dan 3,5 tahun dijajah Bangsa Jepang, namun penderitaan yang dialami oleh rakyat Kerinci sangat berat, Belanda dan Jepang dalam tindakannya tidak ubahnya ”Setali Tiga Uang”.
Kedatangan Jepang tidak ubahnya “Jatuh dari Mulut Harimau masuk ke mulut Buaya”, mereka menghisap darah rakyat melalui kerja paksa dan pungutan Pajak yang menyengsarakan rakyat alam Kerinci.
BACA JUGA:Menilik Keindahan Tersembunyi di Pulau Kambing, Surga Bawah Laut di Sulawesi
Dilansir dari duaistanto.com, pihak Pemerintah Belanda disamping menguasai alam Kerinci dan memungut pajak terhadap rakyat juga merintis dan membuka areal perkebunan teh di alam Kerinci, dan secara historis awalnya perkebunan teh yang dikembangkan oleh perusahaan Belanda yaitu NV. HVA (Namlodse Venotchhhaaf Handle Veriniging Amsterdam) pada tahun 1925.
Sebelumnya usaha pembukaan lahan perkebunan teh dilaksanakan di kawasan yang belokasi di Kebun Baru Kecamatan Gunung Raya.
Kebun ini dihentikan penanamannya karena ketersediaan lahan yang kurang memadai, dilain pihak dikawasan ini pada zaman penjajahan Belanda merupakan kawasan hutan lebat yang merupakan daerah tangkapan air dan hulu sungai Lempur yang dimanfaatkan penduduk untuk kebutuhan hidup dan untuk mengairi lahan persawahan masyarakat.
BACA JUGA:Menarik, Ini Kisah Asal Usul Terjadinya Objek Wisata Danau Gunung Tujuh Kerinci Jambi
Pada saat itu para pemimpin Adat di Lekuk 50 Tumbi Gunung Raya melarang keras pihak perusahaan Belanda untuk membuka lahan perkebunan di kawasan itu.
Dengan pertimbangan yang matang akhirnya pihak Belanda memindahkan ke kawasan hutan di dataran tinggi yang sekarang dikenal sebagai perkebunan teh PTPN 6 Kebun Kayu Aro dikaki gunung Kerinci yang saat ini disebut dengan wilayah Kecamatan Kayu Aro yang memiliki iklim sejuk/dingin dengan ketinggian 1.400 s/d 1.700 meter diatas permukaan laut.
Untuk mengolah lahan perkebunan teh tersebut, pihak Belanda mendatangkan para pekerja (Koeli Kontrak) dari para pekerja perkebunan yang berada di Pulau Jawa, sebagian besar didatangkan dari Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Pada masa selanjutnya setelah kemerdekaan Indonesia diraih dan perusahaan perkebunan diambil alih oleh Indonesia para pekerja perkebunan dari Pulau Jawa itu tetap menetap di Kayu Aro dan melanjutkan pekerjaan sebagai pekerja di areal perkebunan dan Pabrik Teh Kayu Aro.
Sebelumnya saat Belanda meninggalkan Kerinci, kebun dan pabrik teh diambil oleh Jepang pada tahun 1942.
Tahun 1959, melalui PP No 19 Tahun 1959 perkebunan ini diambil alih Pemerintah Republik Indonesia pengawasan dan pengelolaannya dilakukan oleh PT Perkebunan Nusantara VI (PTPN VI).*