RADARMUKOMUKO.COM – Seyogianya Indonesia dan Malaysia harus kompak, melawan kampanye negatif dan tindakan diskriminatif terhadap harga sawit. Dua negara ini, seharusnya menjadi penguasa pasar minyak sawit global.
Seperti dijelaskan Ketua Bidang Komunikasi Gabungan Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Tofan Mahdi. Volume nilai produksi CPO atau minyak kelapa sawit Indonesia mencapai 50 juta ton dan Malaysia sebesar 22 juta ton, maka kedua negara tersebut adalah penguasa pasar minyak sawit global.
“Karena itu Indonesia dan Malaysia harus selalu kompak dalam menghadapi kampanye negatif dan diskriminasi terhadap minyak sawit dalam perdagangan minyak nabati global,” kata Tofan.
BACA JUGA:Ini Daerah Memiliki Perkebunan Sawit Terluas di Indonesia, Sumatera Utara di Posisi
BACA JUGA:Produktivitas Sawit Rakyat Masih Rendah, Solusinya Butuh Peningkatan SDM
Tofan juga mengatakan Indonesia dan Malaysia sebagai penghasil minyak nabati global hingga saat ini masih dihadapkan dengan adanya diskriminasi serta kampanye negatif minyak sawit dari negara-negara penghasil komoditas minyak nabati non sawit.
Maka dari itu, perlu adanya komitmen, kesepakatan, serta kerjasama antara kedua negara dan negara penghasil sawit yang tergabung dalam Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) yang dapat menjadi salah satu cara dalam menghadapi kendala tersebut.
Selain itu, diskriminasi dan kampanye negatif minyak sawit yang dikejarkan tersebut seharusnya menjadi perhatian bersama Indonesia dan Malaysia mengingat hal tersebut merupakan sebuah aksi guna menurunkan daya saing minyak nabati di pasar global.
BACA JUGA:Mengenal Sensus Produksi Sawit Petani Indonesia
BACA JUGA:Tips dan Trik Efektif Mengusir Tikus di Rumah
Gulat Manurung, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) mengatakan bahwa petani kelapa sawit seharusnya ikut dalam keterlibatan terhadap diplomasi dan negosiasi melawan diskriminasi perdagangan oleh negara-negara maju termasuk Uni Eropa.
“Karena 42 persen perkebunan sawit Indonesia adalah milik petani. Tanya adalah masa depan industri sawit Indonesia,” katanya.*