Cerita Kerajaan Anak Sungai di Mukomuko Bengkulu

Cerita Kerajaan Anak Sungai di Mukomuko Bengkulu

Cerita Kerajaan Anak Sungai di Mukomuko Bengkulu-Ilustrasi-Berbagai Sumber

Belanda saat itu sedang mengalami kesulitan ekonomi akibat banyak terjadinya pergolakan- pergolakan politik di Jawa pada tahun 1825 pecah Perang Diponegoro sedangkan di Sumatera Barat Belanda menghadapi Perang Padri. 

Di Eropa sendiri Belanda juga sedang menghadapi peperangan melawan Belgia. Sementara itu di Indonesia sendiri pemerintah harus membayar gaji kepada penguasa-penguasa pribumi (para Bupati), bahkan pembayaran ini juga ada yang hingga tingkat desa.

Dalam usaha untuk membantu keuangan pemerintah, Residen Verlploegh mengusahakan kembali pertanian yang pernah menjadi sumber penghasilan pemerintah kepada penduduk Bengkulu untuk menanam lada. Semua biaya penanaman akan ditanggung oleh pemerintah Belanda. Tujuannya agar pemerintah Belanda dapat membeli lada dari rakyat dengan harga yang telah ditentukan oleh pemerintah.

Dalam usaha untuk menghemat mengeluaran pemerintah Belanda pada rtahun 1826 datang surat dari Gubernur Jenderal D.W Bus de Cisegnies yang isinya memmerintahkan agar Residen meng- hemat penggunaan uang. Akibatnya Residen mengalami kesulitan mengenai ongkos penanaman lada yang telah dilakukannnya. 

Disamping itu, waktu yang hampir bersamaan datang pula surat yang menyatakan bnahwa Reseidensi Bengkulu menjadi bagian (afdeeling) Sumatera Barat. Dengan demikian secara otomatis jabatan Verlploegh turun menjadi Asisten Residen.

Walaupun Bengkulu menjadi bagian dari Sumatera Barat, tetapi Asisten Residen diperkenankan mengirim surat langsung kepada Gubernur jenderal. Kebijakan ini merupakan suatu hak istimewa, karena hubungan antara Bengkulu dan Batavia lerbih lancar dari pada ke  Padang. Hak istimewa ini terus berlangsung setelah menjadi afdeeling Palembang dari tahun 1839 - 1878.

Untuk memulihkan perekonomian, pemerintah Belanda mengambil suatu kebijakan baru, yaitu Cultuur Stelsel (Tanam Paksa). Tujuan utamanya dalah mendapatkan keuntungan dari produksi pertanian melalui sistem penanaman dan penyetoran wajib dengan harga yang telah ditentukan. Tanaman yang harus ditanam adalah nila, tebu, teh, kopi dan tembakau. Penetapan jenis tanaman di suatu tempat ditetapkan oleh pemerintah, rakyat tidak mempunyai hak suara dalam hal ini.

Pada masa J.H. Knoerle (1831-1833) sebagai Asisten Residen Bengkulu dan wilayah Kerajaan Mukomuko yang terdiri dari negeri empat belas kota, lima kota (Bantal), dan proatin nan kurang satu enam puluh (Seblat), semua wilayah Mukomuko berjumlah 89 dusun dengan penduduk 9.448 jiwa.

Tanam paksa di Bengkulu dimulai serentak pada tanggal 1 April 1833. 

Dalam tanam paksa ini dijawabkan kepada setiap keluarga untuk menanam dan memelihara 1000 pohon lada, sedangkan bagi laki-laki yang belum berkeluarga dan berumur di atas 16 tahun diwajibkan menanam dan memelihara sebanyak 300 pohon. 

Untuk menjualnya, setiap hasil panen harus dijual kepada pemerintah Belanda melalui tempat-tempat pelelangan yang harganya ditentukan oleh pemerintah.

Beberapa bulan sejak dikeluarkannya perintah Tanam Paksa terjadi penolakan-penolakan di berbagai daerah di Bengkulu bahkan Asisten Residen J.H. Knoerle sendiri mati dibunuh oleh rakyat di Dusun Tanjung.

Pembunuhan itu dilakukan karena rakyat merasa tidak menyukai tindakan-tindakan yang diambil Knoerle. Sebagai penggantinya diangkat E. Francis sebagai Asisten Residen Bengkulu.

Setelah pembunuhan ini, Letnan Gubernur Van den Bosch sebagai pencetus sistem Tanam Paksa, memperbaharui kebijakan ini, antara lain dengan menurunkan jumlah pohon yang harus ditanam dari 500 menjadi 250 pohon.

Pada masa Francis, hasil tanaman lada dan kopi meningkat hingga tahun 1850, namun setelah itu hasil bumi tersebut merosot kembali. Hal ini disebabkan rakyat enggan memelihara pohon lada dan kopi yang kurang produktif dan mati. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: