Mengenang Perjuangan R.A Kartini Untuk Perempuan Indonesia, Sosok Sepenting Ini
Mengenang Perjuangan R.A Kartini Untuk Perempuan Indonesia, Sosok Sepenting Ini-Ilustrasi -
Pendidikan RA Kartini, Ayahnya menyekolahkan anaknya di ELS (Europese Lagere School). Sekolah ini tak dibuka untuk umum, ia hanya dibuka untuk anak-anak keturunan Eropa, Negara Timur, dan anak Indonesia yang berasal dari keturunan bangsawan.
BACA JUGA:Evaluasi dan Apresiasi Pelaksanaan Pilkada, Staf Ahli Bupati Beri Catatan ke KPU
Hingga kemudian belajar Bahasa Belanda dan bersekolah disana hingga ia berusia 12 tahun. Sebab ketika itu menurut kebiasaan ketika itu, anak perempuan harus tinggal dirumah untuk ‘dipingit’.
Meskipun berada di rumah, Ia aktif dalam melakukan korespondensi atau surat-menyurat dengan temannya yang berada di Belanda.
Sebab beliau juga fasih dalam berbahasa Belanda. Salah satu sahabat penanya yang dikenal bernama Rosa Abendanon.
Karena gemar membaca banyak buku, wawasan Kartini akhirnya terbuka dan ingin memperjuangkan haknya sebagai perempuan.
Ia ingin dirinya dan seluruh perempuan Indonesia memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Dari sinilah kemudian, Ia mulai tertarik dengan pola pikir perempuan Eropa yang ia baca dari surat kabar, majalah serta buku-buku yang ia baca.
Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tetapi juga masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas.
Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali.
Selain itu, Kartini juga membaca De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus dan karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda.
Oleh orang tuanya, Kartini dijodohkan dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri.
Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.
Anak satu-satunya, Soesalit Djojoadhiningrat, lahir pada tanggal 13 September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.
Surat-suratnya yang ia kirimkan pada sahabat penanya akhirnya menginspirasi banyak orang. Hingga pada akhirnya berdirilah Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912. Sekolah ini diberi nama "Sekolah Kartini" yang didirikan oleh tokoh politik, yaitu keluarga Van Deventer.*
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: