Kisah Suku Fore Oseania Tradisi Makan Mayat Agar Roh Bersatu Dalam Keluarga, Efeknya Sekeluarga Menderita
Kisah Suku Fore Oseania Tradisi Makan Mayat Agar Roh Bersatu Dalam Keluarga, Efeknya Sekeluarga Menderita--
BACA JUGA:Rohana Kudus, Sosok Pahlawan Nasional, Jurnalis Wanita Pertama Indonesia Berasal dari Minangkabau
Penyakit ini membuat mereka menggigil, kehilangan keseimbangan, kesulitan berbicara, dan akhirnya mati.
Kuru adalah penyakit degeneratif otak yang disebabkan oleh prion, yaitu protein abnormal yang menyerang sel-sel saraf.
Prion dapat ditularkan melalui konsumsi daging yang terkontaminasi atau kontak dengan cairan tubuh yang terinfeksi.
Penyakit ini tidak dapat disembuhkan dan memiliki masa inkubasi yang panjang, yaitu antara 5 hingga 20 tahun.
Gejala kuru mirip dengan penyakit Creutzfeldt-Jakob (CJD) atau penyakit sapi gila (BSE) pada hewan.
Penyakit kuru pertama kali ditemukan oleh seorang dokter Australia bernama Vincent Zigas pada tahun 1957.
Ia bekerja sama dengan seorang antropolog Amerika bernama Shirley Lindenbaum untuk meneliti suku Fore dan tradisi kanibalisme mereka.
Mereka menemukan bahwa penyakit kuru lebih banyak menyerang perempuan dan anak-anak daripada laki-laki.
Hal ini karena perempuan dan anak-anak biasanya mendapatkan bagian otak, hati, dan ginjal dari mayat yang dimakan, sedangkan laki-laki mendapatkan bagian otot.
BACA JUGA:Kisah Nyai Dasima Gundik Petinggi Belanda, Tragedi Cinta Yang Berakhir Tragis
Pada tahun 1961, seorang ahli biokimia Amerika bernama Carleton Gajdusek berhasil mengisolasi prion penyebab kuru dari otak penderita.
Ia juga berhasil menularkan penyakit kuru ke monyet dengan menyuntikkan ekstrak otak penderita ke otak monyet. Atas penemuannya ini, ia mendapatkan Hadiah Nobel Fisiologi atau Kedokteran pada tahun 1976.
Sejak tahun 1960-an, pemerintah Papua Nugini telah melarang keras praktik kanibalisme di suku Fore dan memberikan edukasi tentang bahaya penyakit kuru.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: