Tragedi Mandor Berdarah, Kejamnya Jepang Menewaskan Ribuan Orang Hingga Satu Generasi Hilang

Tragedi Mandor Berdarah, Kejamnya Jepang Menewaskan Ribuan Orang Hingga Satu Generasi Hilang

Sejarah Tragedi Mandor Berdarah masa Penjajahan Jepang di Kalimantan Barat pada tanggal 28 Juni 1944-Dok-

Rakyat yang merasakan ketidakadilan timbul kebencian terhadap Pemerintahan Jepang, dari sinilah muncul benih-benih pemberontakan.

Gelagat pemberontakan ini tercium oleh orang-orang Jepang yang ada di Kalimantan Barat. Dari sinilah mulai terjadi pembantaian.

Terdapat beberapa kelompok yang dianggap akan melakukan pemberontakan, mulai dari tokoh politik, kaum terdidik, bangsawan lokal, tokoh masyarakat, hingga tokoh agama.

Dimana awalnya, pada April 1942, Sultan Pontianak saat itu, Syarif Muhammad Alkadrie mengundang seluruh kepala swapraja di seluruh Kalimantan Barat untuk membicarakan kondisi saat itu.

Dalam rundingan tersebut, diputuskan bahwa untuk mengakhiri penderitaan rakyat, satu-satunya jalan adalah melawan Jepang.

BACA JUGA:Peristiwa Rengasdengklok, Saat Golongan Muda Menculik Soekarno-Hatta Jelang Proklamasi

Rencana pemberontakan ini ternyata diketahui Jepang. Tak tinggal diam, Jepang mendirikan sebuah organisasi politik bernama Nissinkai. Organisasi ini bertujuan untuk menyalurkan ide politis sesuai kepentingan mereka.

Tokoh-tokoh dari berbagai latar belakang, seperti politik, pengusaha, dan cendekiawan pun bergabung. Beberapa di antaranya adalah JE Pattiasina (Kepala Urusan Umum Kantor Syuutizityo), Notosoedjono (tokoh Parindra), dan Ng Nyiap Sun (Kepala Urusan orang Asing/Kakyo Toseikatyo).

Mereka juga diam-diam ternyata memiliki gerakan bawah tanah yang disebut Gerakan Enam Sembilan karena jumlah anggotanya berjumlah 69 orang.

Pemberontakan pun akhirnya terjadi, tetapi di Kalimantan Selatan. Hal ini ternyata menjadi inspirasi untuk melakukan hal yang sama di Kalimantan Barat.

Jepang pun sigap melakukan pencegahan. Mereka melakukan penangkapan terhadap pihak-pihak yang dicurigai secara bertahap, dimulai dari 23 Oktober 1943.

BACA JUGA:40.000 Rakyat Sipil Dihabisi Belanda Dalam Peristiwa Westerling, Kala Indonesia Sudah Merdeka

Selanjutnya, penangkapan yang kedua terjadi saat Konferensi Nissinkai pada 24 Mei 1944. Konferensi akbar tersebut pada saat itu menjadi ajang penangkapan akbar. Seluruh orang yang hadir diciduk oleh Jepang.

Pada Sabtu, 1 Juli 1944 koran setempat, Borneo Shinbun mewartakan bahwa orang yang ditangkap pada 23 Oktober hingga 28 Juni 1944 telah dihukum mati.

Hal ini pun membuat masyarakat terguncang. Mereka sadar bahwa penangkapan tersebut hanya isu yang dibuat Jepang. Gerakan perlawanan yang diembuskan hanyalah isapan jempol hasil rekayasa Jepang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: