Sosok Sulianti Saroso Dokternya Masyarakat, Ini Profil Lengkapnya
Mengenal Sulianti Saroso --indonesia.go.id
BACA JUGA:4 Suku Utama, Sumbar Miliki 72 Suku dan 12 Suku di Negeri Sembilan Malaysia
Tujuannya, agar RS tersebut bisa menjadi RS rujukan sekaligus lembaga pendidikan serta pelatihan. Namun, menjelang RSPI itu dibangun, Dokter Sulianti wafat, pada 1991. Maka bukan hal yang aneh bila nama Profesor Sulianti Saroso pun disematkan sebagai nama resmi rumah sakit tersebut saat diresmikan pada 1995.
Sulianti Saroso lahir 10 Mei 1917 di Karangasem, Bali. Ia adalah anak kedua dari keluarga Dokter M Sulaiman. Sebagai dokter, tempat tugas Sulaiman berpindah-pindah. Toh, Sulianti selalu mendapat pendidikan terbaik.
Ia menempuh pendidikan dasar berbahasa Belanda ELS (Europeesche Lagere School), lalu pendidikan menengah elite di Gymnasium Bandung, yang sebagian besar siswanya kulit putih, dan melanjutkan pendidikan tinggi di Geneeskundige Hoge School (GHS), sebutan baru bagi Sekolah Kedokteran STOVIA di Batavia. Ia lulus sebagai dokter 1942.
Pada masa pendudukan Jepang, Sulianti bekerja sebagai dokter di RS Umum Pusat di Jakarta, yang kini dikenal sebagai RS Cipto Mangunkusumo. Pada awal kemerdekaan, ia ikut bertahan di rumah sakit besar itu.
Namun, ketika ibu kota negara pindah ke Yogyakarta, Sulianti turut hijrah menjadi dokter republiken dan bekerja di RS Bethesda Yogyakarta.
BACA JUGA:15 Suku Sumatera Barat, Malaysia dan 4 Provinsi Ini Masuk Kerajaan Minangkabau
Sulianti mengikuti garis politik keluarganya. Ayahnya, dokter Muhammad Sulaiman, yang berasal dari kalangan keluarga priyayi tinggi di Bagelen-Banyumas dan serumpun dengan Keluarga Soemitro Djojohadikusumo itu adalah pengurus dan pendiri Boedi Oetomo, dengan pandangan politik yang pro Indonesia Merdeka.
Di Yogya, Sulianti, yang oleh teman-temannya sering dipanggil sebagai Julie, itu benar-benar terjun sebagai dokter perjuangan. Ia mengirim obat-obatan ke kantung-kantung gerilyawan republik, dan terlibat dalam organisasi taktis seperti Wanita Pembantu Perjuangan, Organisasi Putera Puteri Indonesia, selain ikut dalam organisasi resmi KOWANI.
Pada 1947, Sulianti ikut delegasi KOWANI ke New Delhi, menghadiri Konferensi Perempuan se-Asia. Di situ, Sulianti dan teman-teman menggalang pengakuan resmi bagi kemerdekaan Indonesia.
Saat pasukan Pemerintahan Sipil Hindia Belanda/NICA menyerbu dan menduduki Yogyakarta, pada Desember 1948, Sulianti termasuk ke dalam daftar panjang para pejuang kemerdekaan yang ditahan. Ia meringkuk di penjara dua bulan.
Pascarevolusi kemerdekaan, dokter Sulianti kembali bekerja di Kementerian Kesehatan. Ia meraih beasiswa dari WHO untuk belajar tentang tata kelola kesehatan ibu dan anak di beberapa negara Eropa, terutama Inggris.
Pulang ke tanah air pada 1952, ia telah mengantungi Certificate of Public Health Administrasion dari Universitas London. Ia pun ditempatkan di Yogya sebagai Kepala Jawatan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan RI.
Tanpa harus menunggu restu kanan-kiri, Sulianti segera melakukan penggalangan dukungan publik untuk program kesehatan ibu dan anak, khususnya pengendalian angka kelahiran lewat pendidikan seks dan gerakan keluarga berencana (KB). “Dengan penuh semangat dia meminta pemerintah agar membuat kebijakan mendukung penggunaan kontrasepsi melalui sistem kesehatan masyarakat,’’ tulis Terence H Hull, pengamat kebijakan kesehatan dari Australia National University (ANU), dalam People, Population, and Policy in Indonesia, 2005.
BACA JUGA:Separuh Penduduk Indonesia Suku Jawa, Ini 10 Suku Terbesar
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: