Pada tanggal 3 Desember 1804 ekepedisi ini sampai di Ipuh lalu mulai masuk ke pedalaman dan daerah pegunungan melalui sungai, hutan belantara dan jalan setapak untuk mengejar pemberontak yang mengundurkan diri ke pedalaman. Maka, terjadilah pertempuran sengit dan pemberontak mundur lagu ke pegunungan sehingga mereka tidak tertangkap.
Ekspedisi ini sampai di Mukomuko tanggal 14 Maret 1805. Kekuatan mereka ini hanya untuk memperlihatkan kekuatan EIC saja, dan pada tanggal 22 Maret Inggris meninggalkan Mukomuko menuju ibukota Bengkulu.
Pada masa Stanford Thomas Raffles di Bengkulu pada tanggal 4 Juni 1818 menghapus sistem taham paksa lada yang dilakukan oleh Komisaris Ewer yang kenyataannya sangat memberatkan rakyat sehingga rakyat merasa betul-betul dieksploitasi oleh para pejabat kompeni.
Kemudian Sultan Mukomuko, Pangeran Sungai Lemau, dan Pengeran Sungai Itam dijadikan pejabat pemerintah kolonial dengan gaji tertentu.
Setiap keluarga membayar satu dollar spanyol setiap tahunnya sebagai ganti rugi dari penghapusan sistem tanam paksa.
Terhadap kerajaan Mukomuko, pos Residen Inggris dihapuskan dan pemerintah kerajaan diserahkan kepada Sultan Mukomuko, Hidayat Syah (1789-1828), dengan diberi 600 ringgit sebulan.
Setelah Bengkulu diserahkan ke Belanda dari Inggris kerajaan Mukomuko menjadi kabupaten sendiri (landschappen) dengan wilayah Negeri Empat Belas Kota, Lima Kota (Bantal), dan Proatin Nan Kurang Satu Enam Puluh (Seblat).
Wilayah ini meliputi 89 dusun dan berpenduduk 9.448 jiwa. Sedangkan tunjangan Sultan Mukomuko, Hidayat Syah (1789-1828) yang mendapat tujuan bulanan diteruskan oleh Belanda, kemudian secara diam-diam dihentikan. Selama E. Francis (1830-1832) bertugas di Bengkulu, Sultan Mukomuko secara berulang kali menanyakan masalah tunjangannya dan dijawab bahwa beliau dapat memperoleh nafkah bagi dirinya sendiri yang layak dengan jalan menarik pajak yang pantas dari rakyat bawahannya.
Dengan keterangan itu, maka Sultan Mukomuko menganggap dirinya merdeka sepenuhnya dan menyatakan bahwa ia tidak lagi menganggap pemerintah Hindia Belanda di Bengkulu berkuasa untuk campur tangan dalam segala urusan yang mengenai daerah Mukomuko.
Pada tanggal 17 Maret 1824 perjanjian antara Kerajaan Inggris dan Kerajaan Belanda (traktat London) mengenai wilayah dan perdagangan di Hindia Timur yang ditandatangani di London. Perjanjian ini juga mengakhiri persaingan hebat antara Belanda dan Inggris di Kepulauan Indonesia. Traktat ini sebenarnya memindahkan pengaruh Belanda dan Inggris di Asia Tenggara.
Setelah perjanjian London, Belanda mengangkat B.C. Verploegh menjadi Residen Belanda pertama di Bengkulu (1825-1 (1825-1826), Bengkulu dibagi dalam 9 onderafdeling, salah satu di antaranya adalah Mukomuko dengan 5 distrik. Verploeg berusaha keras memperbaiki ber- bagai bidang kehidupan yang sempat merosot akibat kebijakan Raffles.
Walaupun demikian, usahą Belanda pada awal abad 19 ini mengalami kesulitan, bukan saja di Bengkulu tetapi di Hindia Belanda secara keseluruhan dan di Belanda sendiri.
Belanda saat itu sedang mengalami kesulitan ekonomi akibat banyak terjadinya pergolakan- pergolakan politik di Jawa pada tahun 1825 pecah Perang Diponegoro sedangkan di Sumatera Barat Belanda menghadapi Perang Padri.
Di Eropa sendiri Belanda juga sedang menghadapi peperangan melawan Belgia. Sementara itu di Indonesia sendiri pemerintah harus membayar gaji kepada penguasa-penguasa pribumi (para Bupati), bahkan pembayaran ini juga ada yang hingga tingkat desa.
Dalam usaha untuk membantu keuangan pemerintah, Residen Verlploegh mengusahakan kembali pertanian yang pernah menjadi sumber penghasilan pemerintah kepada penduduk Bengkulu untuk menanam lada. Semua biaya penanaman akan ditanggung oleh pemerintah Belanda. Tujuannya agar pemerintah Belanda dapat membeli lada dari rakyat dengan harga yang telah ditentukan oleh pemerintah.
Dalam usaha untuk menghemat mengeluaran pemerintah Belanda pada rtahun 1826 datang surat dari Gubernur Jenderal D.W Bus de Cisegnies yang isinya memmerintahkan agar Residen meng- hemat penggunaan uang. Akibatnya Residen mengalami kesulitan mengenai ongkos penanaman lada yang telah dilakukannnya.