Pada tanggal 26 September 1695, diadakan perjanjian dagang dengan Sultan Gulemat dari kerajaan Anak Sungai, dimana Inggris memperoleh hak monopoli lada di wilayah kerajaannya, yaitu di daerah pesisir barat Sumatera bagian selatan antara Menjuto dan Ketahun.
Dengan demikian, maka Inggris memperluas pengaruhnya dengan membuka pos dagang di Triamang (1695), Ketahun dan Seblat (1697), Bantal (1700).
Pada tanggal 30 Nopember 1713 Sultan Gulemat mengadakan perjanjian dagang dengan kompeni Inggris, dimana Inggris mengakui Gulemat sebagai satu-satunya pemerintahan. Kerajaan Anak Sungai yang harus menanam 3.000 pohon lada per tahun, sedangkan Inggris mendapat hak menopoli lada di daerah kerajaan Anak Sungai.
Raja Masyur dan Raja Sulaiman yang mengacau di Mukomuko, Menjuto dan beberapa dusun di Sungai Bantal dan Ipuh ditertibkan oleh pasukan kompeni Inggris sehingga mereka melarikan diri ke arah utara.
Pada tahun 1728, Raja Kecil Besar meletakkan jabatannya secara sukarela. Berdasarkan atas hasil musyawarah, para Proatin telah mengajukan permohonan kepada Sultan Indrapura agar putranya Merah Bangun yang berkedudukan di Mukomuko diperkenankan untuk dinobatkan menjadi Sultan Mukomuko yang otonom.
Pada bulan Agustus 1728, Merah Bangun dinobatkan oleh Sultan Indrapura sebagai Sultan Mukomuko yang pertama dan berdiri sendiri, berkedudukan di Mukomuko dengan gelar Sultan Gendam Mersah (1728-1752).
Sebagai pengganti kerajaan Anak Sungai, Kerajaan Mukomuko Sultan Gendam Mersah memperluas wilayah sampai air Retak dan air Urai, Yaitu sebagai pembayaran bangun atas kematian seorang kerabat dari Sultan Mukomuko yang terjadi di dalam wilayah kerajaan sungai lemau.
Sebuah perjanjian baru yang tahun 1728 ditandatangani oleh Sultan Mukomukodan juga (dari kerajaan Sunghai Lemau, sungai Itam, dan Silebar) dengan Inggris yaitu mengadakan penelitian perke bunan lada bersama pejabat EIC yang bergelar Residen dalam menggiatkan tanaman lada di wilayah Bengkulu.
Akan tetapi pada tanggal 30 Januari 1741 Residen Distrik Mukomuko mengeluh wilayah penghasil lada di Mukomuko kurang sekali, hal ini disebabkan karena penduduk Mukomuko masih sedikit, sedangkan areal tanaman luas.
Akibat yang langsung dari keluhan ini adalah adanya tekanan dari For Marlborough tentang tanam paksa ini, akibatnya timbul kegelisahan-kegelisahan timbul di distrik lada dan mulai menentang Inggris, karena tidak puas dengan tindakan sewenang-wenang yang sangat merugikan petani lada.
Kegelisahan tersebut mulai disampaikan dalam petisi kepada dewan di Marlborough dan kurang mendapat perhatian.
Dengan tidak adanya perhatian maka pada tahun 1773 beberapa darah mengambil tindakan kekerasan secara terang-terangan terhadap Inggris.
Di Mukomuko sejak tahun 1772 terjadi protes dan para petani selalu mengadakan rapat-rapat untuk menentang Inggris.
Pada tahun 1798, Sultan Mukomuko mengadu ke Fort Marlborough mengenai kekejaman Residen Inggris, John Campbell, dan meminta supaya residen tersebut diberhentikan.
Pada akhir tahun 1804, Sultan Asing, saudara Sultan Mukomuko, bersama-sama dengan Pa Munchu dan Sultan Sidi (kepala- kepala daerah pegunungan) menentang Inggris dan turun ke Ipuh di daerah kompeni, membakar beberapa dusun serta membawa lari sejumlah penduduk.
Pada tanggal 22 November 1804, dari Fort Marlborough dikirim satu ekspedisi tentara kompeni ke Ipuh untuk menangkap pemberontak. Pasukan ini di bawah pimpinan Letnan Hasting Dare, berkekuatan 83 tentara Sipai dan opsirnya, 5 laskar dengan 22 narapidana Benggali dan 18 pengawal Bugis.