Tidak dapat dipungkiri, prilaku wanita di Minangkabau saat ini sudah mulai bergeser mengikuti tren atau perkembangan zaman. Apa yang dianggap baru atau “modern” secara perlahan telah menggerus nilai-nilai “tradisional” yang sudah ada sebelumnya. Saat ini wanita di Minangkabau banyak yang tidak tahu lagi dengan Sumbang Duobaleh. Prilaku wanita, terutama (gadih) bukan sekedar sumbang (janggal) akan tetapi sudah ada yang salah menurut norma adat.
Sebagai generasi milenial, anak gadih Minang saat ini lebih cepat mengetahui, menerima dan mencontoh nilai-nilai baru, tren-tren baru terkait dengan gaya hidup, mode, makanan, tokoh idola dan lain sebagainya. Mereka sangat mudah menemukan semua itu melalui gadget canggih yang ada di tangannya. Sebut saja Facebook, WhatsApp, IG, Tweeter, Line dan sejenisnya telah menjadi ruang baru dalam berkomunikasi. Hubungan melalui medsos itu terjadi antara individu dengan individu yang dikenal dengan istilah chat, japri dan bahkan bicara langsung yang dikenal dengan istilah VC. Hubungan antara individu dengan kelompok dengan identitas yang sama juga dapat dwngan mudah terealisasi melalui grup-group yang beragam di sosial media.
Mudahnya akses informasi secara global telah memberikan andil besar dalam perubahan prilaku wanita atau gadih Minang saat ini. Mereka lebih mahir menggunakan jari-jarinya dalam mengusap smartphone dibandingkan menghapal dan memahami Sumbang Duobaleh sebagai kontrol mereka agar tetap menjadi wanita terhormat dan bermartabat. Lemahnya kontrol sosial pada wanita baik dalam keluarga inti (nuclear family) maupun dalam keluarga luas (extended family) kelihatannya juga menjadi pendorong maraknya prilaku sumbang dan salah tersebut.
Masih jelas dalam ingatan kita, kasus dua orang penari streaptise yang ditangkap oleh jajaran satpol PP pada September tahun 2011 disebuah cafe di Padang. Pada tahun 2015, 10 pasang ABG juga ditangkap berbuat mesum di beberapa hotel melati di kota padang. Dan yang paling spektakuler adalah berita penangkapan 48 pasangan mesum pada malam pergantian tahun 2018 ke tahun 2019. Mereka ada yang ditangkap di hotel, tempat kos, dan bahkan ada yang tertangkap di parkiran SPBU (detik news, Edisi: 1 januari 2019). Mengkhawatirkan memang, apabila hal ini tidak ditangani secara bijak dan arif maka akan berdampak pada prilaku-prilaku menyimpang, kekerasan seksual, dan penyakit masyarakat lainnya.
Idealnya, secara struktural dan fungsional sudah ada mekanisme yang terbentuk secara alamiah dalam mengontrol prilaku sosial dalam masyarakat. Di Minangkabau dikenal dengan istilah “Tungku Tigo Sajarangan, tali tigo sapilin”. Ini merupakan istilah untuk tiga orang unsur pemimpin yang sangat menentukan dalam sitem nilai dan norma yang mengatur aktivitas sosial masyarakat.
Tiga unsur itu adalah Ninik Mamak, Alim Ulama dan Cadiak Pandai. Masing-masing mempunyai fungsi sosial berdasarkan status sosial mereka di tengah masyarakat. Ninik Mamak, adalah laki-laki yang dituakan secara adat, berdasarkan tingkatanya biasa disebut dengan Mamak Kapalo Warih (mamak kepala suku), mamak kapalo kaum, mamak kapalo paruik dan penghulu sebagai pimpinan tertinggi satu suku. Cadiak Pandai adalah laki-laki yang dianggap memiliki ilmu dan wawasan yang sangat luas dalam berbagai aspek kehidupan. Dan Alim Ulama adalah laki-laki yang dituakan dan memiliki kemampuan yang cukup dalam dalam hal keagamaan. Sedangkan Mande Soko dan Bundo Kanduang juga termasuk orang yang dituakan secara adat dan berperan dalam mendidik generasi penerus dan hal-hal lain yang terkait status dan peran sosial wanita secara adat.
Terkait hal ini, dalam pepatah adat juga disebutkan:
Kaluk paku kacang balimbiang
Pucuknyo lenggang lenggokkan
Dibaok manurun kasaruaso
Anak dipangku
Kamanakan dibimbiang
Urang kampuang dipatenggangkan
Supayo nagari jan binaso
Akan tetapi, realitas yang ada sekarang menunjukkan sistem nilai itu sudah bergeser, jangankan menghukum perbuatan yang salah, untuk menegur perbuatan yang sumbang saja, seolah berat untuk melakukannya. Kenapa?? Tentu berbagai macam pula alasannya. Bisa jadi karena merasa bukan dia yang pantas menegur, karena status sosial yang rendah, kekurangan ilmu atau bisa karena cuek dan tidak mau tahu. Apalagi, kalau ibu, bapak dan mamaknya, yang secara adat memiliki tanggung jawab penuh, tidak mempermasalahkan prilaku sumbang atau salah yang dilakukan oleh anak dan kemenakannya tersebut.
Agaknya perubahan sosial dan kultur masyarakat Minangkabau yang terbuka (open society) telah menggeser eksistensi pranata sosial yang ada sebagai sebuah regulasi ideal bagi masyarakat. Peran Ayah, Ibu dan Ninik Mamak secara adat semakin melemah. Padahal mereka adalah orang terdekat dalam hal pewarisan kebudayaan dan sosial kontrol dalam keluarga inti dan keluarga luas.