Beberapa contoh prilaku sumbang tersebut antara lain adalah, sumbang wanita itu duduk bersila (baselo) seperti laki-laki. Idealnya wanita itu duduknya bersimpuh (basimpuah). Sumbang bagi wanita duduk berdua-duaan dengan laki-laki yag bukan muhrimnya ditempat yang sepi. Sumbang bagi seorang wanita berdiri di pinggir jalan sendirian tanpa ada tujuan yang jelas. Sumbang bagi wanita jika memakai pakaian sempit yang membentuk lekuk-lekuk tubuhnya. Sumbang bagi perempuan berjalan sendirian, berjalan tergesa-gesa dan berjalan di depan laki-laki. Sumbang bagi wanita berbisik-bisik di depan orang ramai. Sumbang bagi wanita berkata kasar, dan lain-lainya.
Wanita Minangkabau di Era Milenial
Sepertinya apa yang diungkapkan oleh Soekanto (1990), dalam bukunya “Sosiologi Suatu Pengantar”, ada benarnya. Ia mengatakan bahwa, “perubahan-perubahan masyarakat dapat mengenai nilai –nilai sosial, norma-norma, pola-pola prilaku organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan sebagainya.”
Derasnya kemajuan teknologi dan informasi telah hampir menggantikan ruang-ruang public kedalam ruang-ruang maya dan telah membentuk komunitas yang besar secara fungsional (lihat tulisan saya, Ummat Smartphone). Melalui internet, media sosial dan sebagainya telah membawa perubahan sosial (social exchange) di tengah kehidupan masyarakat.
Perubahan sosial merupakan sesuatu yang tidak bisa dielakkan. Ia akan berdampak kepada kebudayaan suatu suku bangsa. Ia bisa berbentuk akulturasi yang berujung kepada reorientasi nilai, atau ia bisa pula berbentuk asimilasi yang mengikis habis identitas asli kedalam bentuk lain sebagai budaya baru dan dipraktekkan secara massal pada komunitas tertentu. Nah, hal ini akan menghilangkan identitas sosial masyarakat dalam suatu komunitas budaya yang homogen. Hilangnya idenditas kelompok ini terkadang tanpa disadari oleh masyarakat pendukung suatu kebudayaan. Perubahan pola prilaku individu (personal attitude) akan mengakibatkan perubahan prilaku kelompok (comunal attitude). Pada akhirnya, lemahnya kontrol sosial (social control) yang mengakibatkan terjadinya pembiaran telah mempercepat proses degradasi identitas, nilai dan budaya masyarakat.
Mengenai perubahan, sebenarnya sudah digambarkan dalam Pepatah Minangkabau:
Sakali aia gadang
Sakali tapian barubah
Cupak lah diambik rang panggaleh
Jalan lah diasak dek urang lalu
Artinya:
Sekali air besar
Sekali tepian berubah
Cupak (alat untuk menakar sesuatu, seperti padi) diambil oleh pedagang
Jalan sudah diubah oleh orang yang datang.
Sumbang Duobaleh sebagai sebuah sistem nilai, akhir-kahir ini kembali ramai diperbincangkan. Ia menjadi topik yang selalu hangat di meja-meja diskusi di kalangan akademisi, seminar, workshop, artikel, makalah, dan bahkan ciloteh (bicara lepas, biasanya di lapau) di program televisi. Nampaknya ada ketertarikan dan kecendrungan untuk kembali mempelajari dan mengkaji kearifan lokal tersebut. Ada keinginan untuk menghidupkan kembali romantisme masa lalu ditengah hantaman globalisasi.