Ketiganya telah menikah dan si bungsu Ubu Dulla memperistri seorang wanita cantik bernama Rabu Kabba. Suatu hari ketiganya turun ke laut untuk mencari ikan yang memang merupakan mata pencaharian mereka, namun tanpa sepengetahuan para istri dan warga Weiwuang mereka terus berlayar hingga ke Muhu Karera, sebuah negeri yang terkenal makmur untuk mengadu nasib. Hari demi hari terus berlalu.
Sewaktu mereka tak kunjung pulang, warga yang cemas pun mencari kian kemari. Namun sia-sia, ketiganya bak’ hilang tertelan lautan. Warga Weiwuang yakin mereka telah meninggal dan Rabu Kabba pun dilanda kepedihan tak terperi.
Tapi di sisi lain, batinnya menolak percaya Ubu Dulla telah meninggal dan setiap ada kesempatan ia selalu pergi ke tepi pantai dengan harapan suatu hari kelak akan melihat perahu yang membawa suaminya kembali pulang.
Akhirnya harapan Rabu kabba terwujud juga. Suatu hari, sebuah perahu benar-benar muncul dari batas cakrawala tapi yang datang bukan Ubu Dulla melainkan seorang pemuda lain bernama Teda Gaiparona.
BACA JUGA:Keunikan Suku Abui, Paling Bahagia dan Dijuluki Pemburu Kepala Manusia
Rabu Kabba menjalin persahabatan dengan pemuda asal Kodi itu dan lama kelamaan keduanya saling jatuh cinta. Karena adat yang ketat cinta mereka sulit terwujud sehingga keduanya memutuskan untuk kawin lari. Bersamaan dengan itu, Ngongu Tau Matutu, Yagi Waikareri dan Ubu Dulla tiba-tiba muncul kembali di Weiwuang.
Warga menyambut mereka dengan penuh suka cita namun mendung duka tak dapat dibendung tatkala Umbu Dulla mendengar berita tentang istrinya yang telah kabur bersama pria lain.
Demi menegakkan kehormatan, dengan ditemani sejumlah warga Weiwuang Ubu Dulla pergi mencari keduanya.
BACA JUGA:Suku Oni Bersembunyi Tak Mau Ditemui, Karena Barang Miliknya Sering Dipinjam dan Tidak Kembali
Pencarian mereka akhirnya membuahkan hasil namun saat melihat Rabu Kabba, Ubu Dulla sadar cintanya ternyata belum hilang. Ia mengajak Rabu Kabba pulang bersamanya, tapi Rabu Kabba yang merasa telah ternoda menolak untuk kembali.
Hati Ubu Dulla terasa nyeri, tapi bukannya membalas dendam ia malah merelakan istrinya dibawa pergi, asalkan Teda Gaiparona mau menikahinya secara resmi dan membayar sejumlah belis (mas kawin) pengganti seperti yang dulu pernah diberikan Ubu Dulla saat meminang Rabu Kabba.
Demikianlah, belis pun dibayarkan dan sebagai penghormatan terhadap kebesaran jiwa Ubu Dulla, keluarga Teda gaiparona juga memberikan sebungkus nyale hidup, yaitu cacing laut warna-warni yang kemunculanya merupakan pertanda kemakmuran.
BACA JUGA:Bisa Cair Rp 350 Juta Hingga Rp 500 Juta, Bank Mandiri Taspen Miliki 4 Jenis Pinjaman
Kemakmuran yang berusaha dicari Ubu Dulla sampai ke Muhu Karera sehingga akhirnya harus kehilangan istri yang begitu ia cintai. Kedua pihak juga sepakat untuk selalu menyelenggarakan pasola, ritual perang adat menggunakan tombak kayu yang didedikasikan untuk mengenang kejadian itu.
Kejadian yang jika tidak mereka selesaikan dengan arif, bisa jadi telah memicu terjadinya perang sungguhan antara dua keluarga besar yang pastinya bakal memakan banyak korban. darah yang tumpah saat pasola bukanlah darah yang sia-sia karena tiap tetesnya dipecaya turut menyumbangkan kesuburan bagi bumi.*