SELAGAN RAYA , RADARMUKOMUKO.COM – Petani sawah di Kecamatan Selagan Raya, telah memasuki musim panen, Musim Tanam (MT) 3. Awal musim panen ini, harga gabah di tingkat petani Rp 4.500,- per kilogram kering panen. Angka ini dinilai tidak sebanding, karena biaya tanam padi meningkat. Dampak dari kenaikan pupuk dan obat-obatan. Tidak menutup kemungkinan, harga tersebut akan turun pada puncak musim panen. Kondisi yang demikian sangat tidak berpihak kepada petani sawah.
‘’Harga gabah Rp 4.500,- per kilogram. Mungkin bisa turun lagi pada saat puncak musim panen,’’ kata salah seorang pedagang padi, yang juga ketua kelompok tani, Usaha Baru, Anita.
Hal senada disampaikan oleh Anton Sujarwo, anggota Poktan Usaha Baru. Ia mengatakan, pupuk dan obat-obatan dalam hal ini pestisida dan fungisida, harganya melonjak laik. Disisi lain produksi sawah tidak meningkat, bahkan cenderung turun, dampak serangan hama dan penyakit.
‘’Pupuk dan obat-obatan menjadi kebutuhan utama petani. Belakangan harganya melonjak tajam,’’ ujar Anton.
Koordinator Penyuluh (Koorluh) Kecamatan Selagan Raya, Darmadi, SP, mengatakan, secara umum petani masih menggunakan cara tanam tradisional. Salah satu contohnya adalah saat olah tanah. Petani lebih suka menggunakan mesin bajak kura-kura. Mesin ini ukurannya kecil, sehingga tanah yang tergali kedalamannya kurang dari 10 senti meter. Sebagai perbandingan, di kecamatan lain, misalnya Lubuk Pinang, Air Manjuto dan XIV Koto, petani sudah menggunakan mesin bajak singkal. Dengan mesin bajak singkal, kedalaman tanah yang digali mencapai 15 senti, bahkan lebih. Sistem pengolahan ini berpengaruh terhadap perkembangan tanaman. Perbedaan lain juga ada pada sistem tanam. Petani sawah di Selagan Raya, sebagian besar belum menggunakan Jajar Legowo (Jaro). Melainkan menggunakan sistem lowong.
‘’Petani sawah di Selagan Raya, sudah sangat lama dan turun-temurun. Tapi mereka masih cenderung menggunakan cara tradisional,’’ jelas Darmadi.
Darmadi juga mengatakan, pekerjaan berat yang dihadapi adalah merubah kebiasaan petani dari sistem tradisional menuju modern. Hanya saja hal tersebut tidak mudah. Butuh waktu dan proses yang panjang. Salah satu kendala adalah, para penyuluh tinggal di kecamatan lain, dan tidak memiliki sawah di kecamatan ini. Akibatnya penyuluh tidak bisa memberikan contoh secara langsung.
‘’Jangankan bicara sistem perawatan berimbang. Baik dalam hal pemupukan maupun perawatan. Cara tanam kita saja tertinggal dibandingkan dengan petani di daerah lain, yang sudah menerapkan pola tanam modern. Di Selagan Raya, ada juga petani yang menerapkan pola tanam modern, tapi masih bisa dihitung dengan jari,’’ tutup Darmadi.(dul)