Suka Belanja Ternyata Bukan Masalah Sepele, Kenali Gangguan Shopaholic Kegemaran Berbelanja dan Penyebabnya
Suka Belanja Ternyata Bukan Masalah Sepele, Kenali Gangguan Shopaholic Kegemaran Berbelanja dan Penyebabnya-Ilustrasi-Berbagai Sumber
6. Kesulitan menghentikan perilaku belanja meskipun menyadari konsekuensi negatifnya
BACA JUGA:Bosan Masak Mie Instan Yang Gitu-gitu Aja? Yuk Cobain Resep Mie Instan Hack!!
Gangguan shopaholic tidak muncul begitu saja. Ada berbagai faktor yang berkontribusi terhadap perkembangan kondisi ini:
1. Faktor Psikologis
Banyak individu dengan gangguan shopaholic menggunakan belanja sebagai mekanisme koping untuk mengatasi emosi negatif seperti stres, kecemasan, atau depresi. Berbelanja dapat memberikan perasaan senang dan euforia sementara, yang kemudian menjadi cara untuk "mengobati" perasaan tidak menyenangkan.
Rendahnya harga diri juga dapat menjadi faktor pendorong. Beberapa orang mungkin merasa bahwa membeli barang-barang baru akan meningkatkan citra diri mereka atau membuat mereka lebih diterima secara sosial.
2. Faktor Neurologis
Penelitian menunjukkan bahwa ada kemungkinan ketidakseimbangan kimia otak berperan dalam gangguan shopaholic. Sistem reward otak, yang melibatkan neurotransmitter dopamin, mungkin mengalami disfungsi pada individu dengan gangguan ini. Hal ini menyebabkan mereka terus-menerus mencari "high" atau perasaan senang yang didapat dari berbelanja.
3. Faktor Genetik dan Lingkungan
Ada indikasi bahwa kecenderungan terhadap perilaku adiktif, termasuk shopaholic, dapat diturunkan secara genetik. Selain itu, lingkungan di mana seseorang tumbuh juga dapat mempengaruhi. Misalnya, anak-anak yang tumbuh dalam keluarga di mana berbelanja secara berlebihan dianggap normal mungkin lebih cenderung mengembangkan pola perilaku serupa.
4. Pengaruh Sosial dan Media
Tekanan sosial untuk selalu mengikuti tren terbaru dan memiliki barang-barang tertentu dapat berkontribusi pada perkembangan perilaku shopaholic. Media sosial dan iklan yang agresif juga dapat memperparah kondisi ini dengan terus-menerus mempromosikan gaya hidup konsumtif.
5. Trauma atau Pengalaman Masa Lalu
Beberapa individu mungkin mengembangkan perilaku shopaholic sebagai respons terhadap trauma atau pengalaman negatif di masa lalu. Berbelanja menjadi cara untuk mengisi kekosongan emosional atau mencari rasa kontrol dalam hidup mereka.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: