Kisah Raja Gula Semarang Masa Kolonial Belanda, Orang Terkaya di Asia Runtuh Dalam Satu Malam
Kisah Raja Gula Semarang Masa Kolonial Belanda, Orang Terkaya di Asia Runtuh Dalam Satu Malam--
"Pengembalian inilah yang menurut Oei Tjong Tay (putra Oei Tiong Ham) mendorong pemerintah mencari-cari alasan untuk menyita seluruh aset OTHC di Indonesia," tulis Benny G. Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik (2003).
Tak lama berselang, setelah tuntutan itu, pada 1961 tiba-tiba pengadilan Semarang memanggil para pemilik saham Kian Gwan, yang merupakan roda penggerak utama konglomerasi OTHC.
Pemanggilan ini untuk mengadili mereka di sidang ekonomi karena dianggap melanggar peraturan tentang valuta asing.
Akibat seluruh pewaris tinggal di luar negeri dan tidak ada pembelaan, maka pengadilan Semarang memutus OTHC bersalah. Tepat pada 10 Juli 1961, barang-barang bukti yang tersangkut peristiwa dirampas dan disita negara.
Penyitaan yang terjadi dalam waktu sehari itu termasuk juga harta warisan Oei Tiong Ham. Dengan kata lain, seluruh aset OTHC dan keluarga Oei disita.
Hasil penyitaan inilah yang menjadi aset untuk modal pendirian BUMN tebu bernama PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) pada 1964.
Setelah pengambilalihan oleh negara itulah, jejak bisnis konglomerasi besar OTHC selama puluhan tahun di zaman kolonial hilang begitu saja. Bahkan, keturunan Oei Tiong Ham pun gaungnya tidak lagi terdengar, hanya tinggal sejarah.
Diketahui, melansir dari wikipedia, Oei Tiong Ham dilahirkan pada 19 November 1866 di Semarang, Jawa Tengah sebagai anak kedua dari delapan orang anak di dalam keluarganya.
Ayahnya, Oei Tjie Sien, adalah seorang pengusaha totok yang berasal dari daerah Tong An di Fujian, Tiongkok. Walaupun mapan, keluarga Oei bukanlah bagian dari kalangan Cabang Atas Peranakan, yang adalah elite tradisional Tionghoa di Hindia Belanda.Ibunya, Tjan Bien Nio, adalah seorang Peranakan kelahiran Jawa dari keluarga menengah.
Oei Tiong Ham melakukan ekspansi bisnis ayahnya, Kian Gwan, menjadi Oei Tiong Ham Concern (OTHC), perusahaan konglomerat terbesar di Asia Tenggara pada awal abad ke-20.
Di Singapura, tempatnya ia berpindah untuk menghindari pajak dan masalah hukum waris di Hindia Belanda, ada jalan bernama Oei Tiong Ham sebagai tanda penghargaan.
Taman di dekat Holland Road, juga diberikan nama Oei Tiong Ham sebagai penghargaan. Julukan lainnya, "Manusia 200 Juta", berasal dari kekayaannya yang berhasil mencapai 200 juta gulden saat kematiannya pada 1924 di Singapura.*
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: