“Pelaksanaan putusan ini berpotensi menciptakan deadlock konstitusional,” tegas Lestari Moerdijat, Anggota Majelis Tinggi NasDem.
Ia juga menilai MK telah melampaui batas sebagai negative legislator, karena masuk ke ranah pembentukan norma yang seharusnya menjadi domain DPR dan pemerintah.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyatakan pemerintah masih melakukan kajian internal atas putusan ini.
“Kami akan rapat dengan Menko Polhukam, Kemenkumham, dan pihak terkait lain. Ini menyangkut masalah politik dan hukum,” kata Tito, 2 Juli 2025.
Ia menambahkan, pembahasan lebih lanjut dengan DPR akan dilakukan setelah kajian pemerintah selesai. Tito juga meminta semua pihak tidak buru-buru menarik kesimpulan.
Sementara itu, jika benar diterapkan, sistem dua tahap pemilu akan membawa konsekuensi logistik, politik, dan fiskal yang besar.
Di antaranya ditengarai berimbas terhadap biaya pemilu akan membengkak. Ini lantaran infrastruktur pemilu harus digelar dua kali.
Selanjutnya, mobilisasi massa dan tensi politik lebih sering muncul, karena masyarakat akan terus berada dalam atmosfer kampanye.
Kemudian, risiko kelelahan pemilih dan partai meningkat. Sebabnya, harus menggalang kekuatan dua kali dalam waktu berdekatan.
Di sisi lain, beberapa pihak melihat pemisahan ini bisa membuka ruang baru bagi penguatan isu lokal dan otonomi daerah, karena tak lagi terseret dalam euforia politik nasional.*