RADARMUKOMUKO.COM – Hadirnya banyak sekali tren-tren atau kebiasaan baru akibat dari kemajuan teknologi Ternyata dapat berpengaruh bagi kesehatan mental kita. Salah satunya adalah Cancel Culture ini.
Istilah Cancel Culture ini berasal dari istilah slang yangvl relatif tidak jelas alias abstrak. Arti Cancel disini mengacu pada ungkapan putus dengan seseorang yang digunakan dalam.lafu era 80-an.
Istilah Cancel Culture ini sebenarnya sama dengan boikot. Publik figur atau orang yang memiliki pengaruh bisa tiba-tiba di cancel atau ditolak karena dianggap tak lagi sejalan dengan keinginan masyarakat.
Cancel culture biasanya digaungkan melalui media sosial, twitter atau dengan mengajukan petisi.
BACA JUGA:32 Tahun Soeharto Berkuasa Harga Murah, Ini Sederet Kelebihan Dari Orde Baru
BACA JUGA:Satu Unit Jembatan di Mukomuko Dibangun Melalui Skema Dana Hibah Pemerintah Pusat
Dalam hal ini dapat diartikan bahwa Cancel Culture merupakan evolusi dari istilah boikot yang telah dikenal masyarakat sejak lama.
Budaya cancel culture ini disebut muncul pertama kali pada 2017 lalu saat kasus pelecehan seksual Harvei Weinstein terungkap.
Mulanya cancel culture keluar ketika banyak pelaku pelecehan seksual dari kalangan publik figur diketahui masyarakat.
Mereka yang terlibat skandal ini ramai-ramai ditolak masyarakat. Mereka dilarang untuk tampil lagi di hadapan publik, bahkan karya-karya lama mereka pun ditolak masyarakat.
Efek dari cancel culture dapat beragam. Misalnya, publik tak terima tokoh tersebut ada di televisi, pembatalan iklan, hingga pembatalan kontrak kerja.
Menurut psikolog klinis dewasa Utari Krisnamurthi cancel culture bisa terjadi ketika value atau nilai yang dipegang individu tidak lagi sejalan dengan individu atau grup lain.
BACA JUGA:Rangkaian Kegiatan HUT Selesai, Sekda Imbau ASN Kembali Fokus Sukseskan Program Kerja 2024
BACA JUGA:Miliki 5 Kursi, Golkar Bisa Usung Calon Bupati Sendiri, Choirul Huda Tetap Ingin Koalisi
"Apa yang terjadi ketika brand yang kita gunakan atau kita follow valuenya sudah tidak sama? Akan ada dua kemungkinan, pertama ada individu yang kalau beda value akan tetap follow brand itu di media sosial, dan tetap membeli produknya," ujar Utari Krisnamurthi.