Pou Chen memiliki pabrik-pabrik di berbagai negara, termasuk Myanmar, Vietnam, Indonesia, Kamboja, dan Bangladesh.
BACA JUGA:Golkar dan PKS Unggul Jauh, Ini Perolehan Suara Sementara DPRD Provinsi
BACA JUGA:Parpol Pemenang Pemilu di Mukomuko Sudah Diketahui dan Berhak Jadi Ketua Dewan
Pou Chen telah menjadi raksasa sepatu dunia yang menguasai pasar global. Namun, Pou Chen juga menghadapi tantangan yang tidak mudah, terutama dari segi keamanan dan politik. Salah satu negara yang menjadi basis produksi Pou Chen adalah Myanmar, yang baru-baru ini mengalami kudeta militer yang menimbulkan konflik dan kekerasan.
Pada tanggal 30 Maret 2021, Pou Chen memutuskan untuk menghentikan produksinya di Myanmar untuk alasan keamanan. Keputusan ini diambil setelah terjadi penembakan dan pembunuhan massal terhadap para pengunjuk rasa yang menentang kudeta militer.
Pou Chen mengatakan akan memantau perkembangan di Myanmar sebelum memutuskan apakah akan melanjutkan produksi atau tidak.
Penghentian produksi di Myanmar tentu saja berdampak pada pendapatan dan kinerja Pou Chen.
Selain itu, pandemi Covid-19 juga telah menyebabkan pendapatan grup dari sepatu turun 24,6 persen, atau 45,57 miliar dolar Taiwan (1,59 miliar dolar AS), dari 2019 hingga 2020. Pou Chen harus mencari cara untuk mengatasi krisis yang sedang dihadapinya.
Salah satu strategi yang dilakukan oleh Pou Chen adalah memindahkan sebagian produksinya ke negara-negara lain yang lebih stabil dan aman, seperti Vietnam atau Indonesia.
Pou Chen juga berupaya untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas produksinya, serta memperluas pasar dan mereknya. Pou Chen masih berharap untuk tetap menjadi produsen sepatu terbesar di dunia.
Cibaduyut dan Pou Chen adalah dua produsen sepatu yang memiliki kisah yang berbeda namun sama-sama menghadapi krisis yang mengancam eksistensi mereka.
Cibaduyut terdesak oleh produk impor dan pandemi, sedangkan Pou Chen terganggu oleh konflik politik dan keamanan.
Keduanya harus berjuang untuk bertahan dan berkembang di tengah situasi yang sulit.*