Pocut Di Biheue kemudian dibiarkan tergeletak di genangan darah. Veltman mengira perempuan itu akan mati.
Ia kagum dengan semangat Pocut Di Biheue, sehingga menolak sersan yang hendak membunuh Pocut yang dalam keadaan tidak berdaya. Dia ditinggalkan dalam keadaan berdarah. Namun, kecurigaan Veltman atas kematian Pocut tidak terbukti.
Wanita hebat ini masih hidup, karena berhasil menyelamatkan diri, meski menderita banyak luka di bagian kepala dan bahu.
Dilansir dari achehnetwork.com, pimpinan tentara Belanda yang dilawannya, Veltman yang terkesan dengan Pocut kemudian membawa seorang dokter ke kediaman Pocut untuk mengobati lukanya.
Namun, meskipun Veltman terus-menerus memujuk, dia menolak bantuan apa pun. Toh dia mau dirawat asalkan tentara Belanda itu dari pribumi.
Pesan Pocut diterima oleh Scheuer, komandan tentara Belanda. Dia bahkan menjumpai Pocut Di Biheue untuk memberikan penghormatan.
Pada tahun 1905, Pocut Di Biheue ditangkap di Kutaraja, Banda Aceh. Ia dan kedua putranya, Tuanku Nurdin dan Tuanku Budiman, serta saudaranya, Tuanku Ibrahim, kemudian dideportasi ke Blora.
Pengasingan itu berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda No. 24 tanggal 6 Mei 1905 yang mengakhiri perjuangan Pocut dan keluarganya.
Sedangkan salah satu anak Pocut, Tuanku Muhammad, diasingkan ke Tondano di Sulawesi Utara pada tahun 1900.
Selama 30 tahun di pengasingan di Blora, kesehatan Pocut Meurah Intan semakin memburuk.
Pocut Meurah Intan meninggal pada tanggal 19 September 1937. Sebelum meninggal, Pocut Meurah Intan memiliki wasiat untuk dimakamkan hanya di Blora setelah meninggal dunia.*