Perlawanan suku Semende dipimpin oleh beberapa tokoh yang berani dan cerdik. Salah satunya adalah Puyang Rentul Panji Alam, seorang pemimpin adat dan panglima perang suku Semende Darat.
Ia berhasil mengorganisir pasukan-pasukan suku Semende Darat dari berbagai desa dan menyusun strategi-strategi perlawanan.
Tokoh lainnya adalah Puyang Kepiri, seorang pemimpin adat dan panglima perang suku Semende Lembak.
BACA JUGA:7 Suku Asli Dengan Jumlah Penduduk Terus Bekurang, Ada Yang Dilabel Primitif dan Ini Penyebabnya
Ia berhasil menggalang kerjasama antara suku Semende Lembak dengan suku-suku lain di sekitar wilayah Semendo, seperti suku Ogan Komering Ulu, suku Ogan Komering Ilir, dan suku Lampung ia juga berhasil mendapatkan bantuan senjata dari Kerajaan Palembang.
Perlawanan suku Semende berakhir pada tahun 1916, setelah Belanda berhasil mengepung pasukan-pasukan suku Semende di sebuah bukit bernama Bukit Cibeo.
Di sana, terjadi pertempuran akhir yang sangat sengit dan berdarah-darah. Suku Semende bertempur habis-habisan tanpa mengenal mundur.
Namun, akhirnya mereka kalah jumlah dan kekuatan dari pasukan Belanda yang lebih modern dan terlatih banyak dari mereka yang gugur di medan perang, termasuk Puyang Rentul Panji Alam dan Puyang Kepiri.
Sebagian kecil dari mereka yang selamat melarikan diri ke hutan atau bergabung dengan kerajaan Palembang.
Namun, perlawanan suku Semende tidak sia-sia. Mereka telah menunjukkan keberanian dan kegigihan yang luar biasa dalam mempertahankan tanah air dan kebudayaan mereka.
Mereka juga telah menginspirasi generasi-generasi berikutnya untuk terus berjuang melawan penjajah. Perang Semendo merupakan salah satu perang yang paling ganas dan terberani dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia.*