RADARMUKOMUKO.COM - Selain kisah penderitaan dan kesedihan yang menyayat hati, perang melawan penjajah juga dihiasi oleh kisah-kisah yang bisa bikin tawa. Mungkin banyak yang kenal dengan film Naga bonar yang perang melawan Belanda penuh kekocakan.
Walau bukan seperti yang ada dalam film ini, kisah "naga bonar" dari tanah batak Sumatera Utara tersebut benar adanya, yaitu Jenderal Timur Pane atau dijuluki Naga Bonar.
Melansir dari berbagai sumber, Timur Pane awalnya merupakan sosok preman bekas raja copet di Medan yang berasal dari Tapanuli. Namanya sangat terkenal di Sumatera terutama Sumatera Utara, bahkan sampai ke Pulau Jawa.
Ia menobatkan dirinya sendiri sebagai jenderal secara tiba-tiba hingga namanya tenar dengan sebuta Jendral Timur Pane.
Alasannya kala itu, ia ingin membuat pasukan perang yang beranggotakan para copet, lalu diberi nama Legiun Penggempur Raja Terbang.
Antara serius atau tidak pasukan yang dibentuknya, namun akhirnya benar-benar bertempur di medan perang pada 1945-1948. Namun namanya tidak tercatat dalam buku sejarah yang dipelajari di sekolah.
Sebagai pimpinan para bandit yang kerap bertempur dengan tentara Belanda, Timur Pane menjadi sosok yang disegani sekaligus kerap membuat pusing kepala para pemimpin laskar di Sumut.
Melansir dari bentengtimes.com, Abdul Haris Nasution, panglima Divisi Siliwangi saat itu, menuliskan bahwa keberadaan Timur Pane dengan laskar Naga Terbang-nya kerap membikin kekacauan dan terkenal liar.
Selain suka menyerang Belanda semaunya, mereka juga suka merampas hak milik rakyat serta menduduki beberapa perkebunan yang merupakan salah satu sumber keuangan mereka.
“Tindakan mereka tidak dapat dikendalikan oleh badan-badan pemerintah yang berwajib,” ujar Nasution dalam buku Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 4: Periode Linggajati.
Wakil Presiden Hatta yang merangkap Menteri Pertahanan sekitar tahun 1947 bahkan sampai terbang menuju Sumut.
Tujuannya untuk meredakan ketegangan antara satu laskar perjuangan dengan laskar yang dipimpin Timur Pane.
Hatta dalam otobiografinya “Untuk Negeriku: sebuah Otobiografi” menuliskan, kondisi laskar di Sumut terbilang gawat. Rebutan wilayah satu sama lain sampai berujung pada niat saling bunuh.