RADARMUKOMUKO.COM - Pertempuran 10 November 1945, didorong dari sederatan kejadian yang memicu pertempuran di Surabaya, Jawa Timur tersebut.
Dilansir dari berbagai sumber, diantara pemicu peristiwa 10 November 1945, perobekan bendera pada 19 September 1945. Kedua, peristiwa heroik 27-29 Oktober 1945 yang semuanya dimenangkan Indonesia hingga sekutu mengibarkan bendera putih.
Ketiga, tewasnya Brigjen Mallaby pada 30 Oktober 1945. Mallaby tewas di dalam mobil yang ditumpanginya diduga akibat terkena lemparan granat ketika melintas di depan Gedung Internatio.
Yang paling penting lagi, peristiwa 10 November 1945 tak bisa melepas dari sosok Pimpinan Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) Sutomo atau biasa dipanggil Bung Tomo.
BACA JUGA:Saat Presiden Soekarno Resah, Menyadari Sahabatnya Bung Hatta Belum Menikah Diusia 43 Tahun
BACA JUGA:Pinjol BRI Pinang Modal KTP, Bisa Ajukan Rp 500.000 Hingga Rp 25.000.000, 15 Menit Langsung Cair
Berkat seruan Bung Tomo, rakyat Surabaya berperang melawan tentara sekutu. Atas peristiwa ini pula ditetapkan 10 November sebagai Hari Pahlawan.
Intinya, Peristiwa 10 November 1945 menjadi salah satu bagian sejarah bangsa Indonesia. Pada momen tersebut, Bangsa Indonesia terutama masyarakat Surabaya berjuang mempertahankan kemerdekaan dan menghadapi sekutu.
Terkait dengan sosok Bung Tomo pembakar semangat para arek Suroboyo melawan tentara sekutu tersebut, ia dikenal sebagai seorang wartawan. Di masa revolusi fisik, Bung Tomo diangkat menjadi Ketua Umum Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI).
Sutomo atau biasa dipanggil Bung Tomo ini lahir 3 Oktober 1920 di Surabaya, Jawa Timur.
Pada 1950 Bung Tomo diangkat sebagai Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata. Ia juga menjabat anggota DPR pada 1956–1959 mewakili Partai Rakyat Indonesia.
Berada dalam lingkaran kekuasaan tak membuatnya kehilangan daya kritis. Ia pernah mengkritik kepemimpinan Sukarno, juga Soeharto pada era orde baru.
Oleh sebab itu, ketika Soeharto berkuasa di republik ini, Bung Tomo ditangkap dan dijebloskan ke penjara Nirbaya di tahun 1978. Sikap kritisnya terhadap pemerintahan Orde Baru membuatnya harus hilang kebebasan sebagai warga negara.
Kurang lebih setahun Bung Tomo menghabiskan hidupnya di penjara Nirbaya. Bebas dari penjara, Bung Tomo berkeinginan menunaikan ibadah haji.
Tak punya uang, Bung Tomo bertekad berangkat haji pada tahun 1981. Berkat usahanya tak kenal lelah, Bung Tomo, sang istri Sulistina dan dua anaknya berhasil berangkat haji.