Aahhh…. Logikaku yang hidup di era kemoderenan jahiliyah agamawi ini memang belum sampai.
Sampai rumah pukul 10:00 pagi beliau langsung masak untuk makan siang dan malam.
Ternyata mbah Jum juga seorang tukang pijat bayi (begitulah orang di kampung itu menyebutnya).
Jadi bila ada anak-anak yang dikeluhkan demam, batuk, pilek, rewel, kejang, diare, muntah-muntah dan lain-lain, biasanya orang tua mereka akan langsung mengantarkan ke rumah mbah Jum.
Bahkan bukan hanya untuk pijat bayi dan anak-anak, mbah Jum juga bisa membantu pemulihan kesehatan bagi orang dewasa yang mengalami keseleo, memar, patah tulang, dan sejenisnya.
Mbah Jum tidak pernah memberikan tarif untuk jasanya itu, padahal beliau bersedia diganggu 24 jam bila ada yang butuh pertolongannya.
Bahkan bila ada yang memberikan imbalan untuk jasanya itu, ia selalu masukan lagi 100% ke kotak Kolekte.
Ya ! 100% ! anda kaget ? sama, saya juga kaget.
Ketika aku kembali bertanya : “kenapa harus semuanya dimasukkan ke kotak Kolekte?”
mbah Jum memberi penjelasan sambil tersenyum :
“Kulo niki sakjane mboten pinter mijet. Nek wonten sing seger waras mergo dipijet kaleh kulo, niku sanes kulo seng ndamel seger waras, niku kersane Gusti Pangeran.”
Lha dadose mbayare mboten kaleh kulo, tapi kaleh Gusti Pangeran.”
(Saya itu sebenarnya nggak pinter mijit. Kalau ada yang sembuh karena saya pijit, itu bukan karena saya, tapi karena Gusti Pangeran. Jadi bayarnya bukan sama saya, tapi sama Gusti Pangeran).
BACA JUGA:Kisah Titin Sumarni, Artis Digemari Soekarno yang Berakhir Menyedihkan dalam Kemalaratan
Lagi-lagi aku terdiam. Lurus menatap wajah keriputnya yang bersih.