Selain masuk ke rumah-rumah penduduk, juga mencari ke kandang-kandang domba, semak/belukar, tepi-tepi sungai sambil membawa anjing pelacak.
BACA JUGA:Sejarah Masuknya Sepakbola ke Indonesia, Sempat Berhenti Karena Jepang dan Agresi Belanda
Dengan menggunakan anjing pelacak, banyak penduduk yang sedang bersembunyi tertangkap dan langsung dibawa ke tempat yang agak luas untuk kemudian dieksekusi dengan kejam. Ada juga yang langsung ditembak di tempat.
Tentara yang dikerahkan dalam aksi pembantaian berjumlah sekitar 300 orang diperkirakan serdadu mantan algojo-algojo yang telah membantai rakyat di Sulawesi Selatan dan ditempatkan di wilayah Cikampek dan Karawang.
Oleh karena itu, dalam aksi pembantaian mereka sangat kejam, ganas, dan tidak berperikemanusiaan. Nyawa manusia diibaratkan seperti nyawa binatang yang tidak ada artinya bagi mereka.
Walaupun Desa Rawagede telah hancur, namun pihak Belanda masih kurang puas, karena sebagian pejuang terutama Lukas Kustaryo tidak berhasil dibunuh.
Untuk mencari terus para pejuang dan Lukas Kustaryo, pihak Belanda mendatangkan lagi pasukannya sebanyak 9 truk.
Dalam operasinya tentara Belanda mendapat bantuan dari orang-orang pribumi yang menjadi pengkhianat bangsa, dengan cara menunjukkan tempat-tempat persembunyian warga desa dan para pejuang, sehingga operasi ini berjalan dengan cepat.
Korban dalam peristiwa naas tersebut bukan hanya penduduk Rawagede saja, tetapi ada juga warga lain seperti penumpang Kereta Api jurusan Karawang-Rengasdengklok.
Mereka tidak tahu di Rawagede sedang terjadi pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda. Para penumpang terjebak di Stasiun Rawagede dan menjadi sasaran keganasan tentara Belanda.
Mereka ditangkap dan dibariskan di jalan Kereta Api sambil disuruh jongkok, setelah itu langsung ditembak dengan senjata bregun.
Mereka langsung roboh dan bergelimpangan di sepanjang jalan rel Kereta Api. Menurut saksi mata korban kebiadaban itu berjumlah 62 orang.
Keadaan di seluruh sudut Rawagede sejak penyerangan jam 04.00 subuh sampai malam hari, tidak seorangpun yang berani menampakkan diri untuk keluar rumah.
Baru pada keesokan harinya setelah keadaan cukup aman masyarakat baru berani keluar dan melihat banyak mayat bergelimpangan dimana-mana, di jalan, di halaman rumah, sawah dan yang terbanyak terdapat di sungai.
BACA JUGA:Perlawanan Barisan Selempang Merah, Menghalau Belanda dari Tanah Jambi Pulau Sumatera
Pada saat itu sungai dalam keadaan banjir. Ratap tangis dan jerit histeris memecah keheningan pagi. Dengan peralatan dan tenaga seadanya mereka mengurus dan menguburkan jenazah-jenazah tersebut.