RADARMUKOMUKO.COM - Setiap tahun, pada tanggal 1 Syawal atau Hari Raya Idul Fitri, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat menggelar upacara adat yang disebut Grebeg Syawal. Upacara ini merupakan salah satu dari tiga Grebeg yang diadakan oleh keraton setiap tahunnya, selain Grebeg Besar dan Grebeg Mulud.
Grebeg Syawal adalah wujud syukur dan sedekah dari Sultan dan keluarga keraton kepada rakyatnya atas berakhirnya bulan puasa Ramadan. Dalam upacara ini, keraton mengeluarkan tujuh gunungan yang berisi hasil bumi, seperti buah-buahan, sayuran, kue-kue, dan lain-lain. Gunungan ini disusun tinggi seperti gunung dan dihias dengan bunga-bunga.
BACA JUGA:Tradisi Nyeleneh di Kepulauan Marquesas Yang Indah, Anak Belajar Dewasa Harus Menonton Orang Tua
Lima gunungan dibawa ke Masjid Gedhe Kauman, satu dibawa ke Pura Pakualaman, dan satu lagi dibawa ke Kantor Kepatihan. Gunungan yang paling besar disebut gunungan kakung, yang menyerupai gunung sesungguhnya. Gunungan ini dipersembahkan kepada Allah SWT sebagai ungkapan rasa syukur.
Sebelum diberikan kepada rakyat, gunungan tersebut diarak terlebih dahulu mulai dari Pagelaran Keraton Yogyakarta menuju Masjid Gedhe Kauman yang berjarak kurang lebih 1 km. Iring-iringan gunungan ini diikuti oleh pasukan berkuda dan prajurit keraton yang mengenakan pakaian adat Jawa.
Di Masjid Gedhe Kauman, Kyai Penghulu bersama para ulama keraton dan abdi dalem akan memanjatkan doa-doa kebaikan, kesejahteraan, kemakmuran, dan keselamatan bagi keluarga sultan beserta rakyatnya dan nusa bangsa pada umumnya. Setelah itu, gunungan dilepas untuk diperebutkan oleh masyarakat.
BACA JUGA:Tak Disangka Sekali-Kali Makan Nanas Ternyata Khasiatnya Baru Diketahui, Bisa Mencegah IBD
Bagi masyarakat Yogyakarta, mendapatkan bagian dari gunungan adalah hal yang sangat ditunggu-tunggu. Mereka percaya bahwa gunungan memiliki keberkahan dan manfaat yang besar karena sudah didoakan oleh para ulama. Mereka berjibaku mendapat bagian gunungan sebanyak mungkin dengan harapan mendapat rezeki dan kesehatan.
Tradisi Grebeg Syawal ini telah berlangsung sejak zaman Mataram Islam pada abad ke-16. Tradisi ini merupakan akulturasi budaya dan agama yang masih dijaga kelestariannya oleh Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat hingga kini. Tradisi ini juga menjadi daya tarik wisatawan baik lokal maupun asing yang ingin menyaksikan kekayaan budaya Yogyakarta.
Artikel ini dilansir dari berbagai sumber : pesonaindonesia.com dan www.menpan.go.id