Dilansir dari solopos.com, ada kisah misteri yang menyangkut wong alas terjadi pada 1984 di mana ada seorang perempuan dari wong alas yang meninggal karena memakan umpan beracun untuk jebakan babi hutan.
Beberapa hari kemudian, 35 ekor kambing milik warga Desa Tundangan mati dalam jangka waktu satu malam. Di bagian leher kambing itu terdapat semacam bekas gigitan.
Warga desa mengkaitkan kematian 35 kambing itu dengan kejadian meninggalnya perempuan wong alas tersebut dengan asumsi kaum wong alas hendak balas dendam dengan warga desa atas kematian salah satu dari anggota mereka.
Kisah lainnya terjadi di tahun 1978 di suatu daerah perdukuhan di bagian selatan Desa Sirongge (sebelah timur Desa Tundangan) yang dihuni beberapa kepala keluarga dan terpaksa pindah karena merasa takut dengan keberadaan wong alas.
BACA JUGA:Suku Limakawatina Mengasingkan Diri, Hindari Pajak dan Kerja Paksa
Saat itu, warga perdukuhan mementaskan kesenian ronggeng. Saat tiba waktu tengah malam, tiba-tiba jumlah penonton bertambah, tepat saat pemain ronggeng menyanyikan lagu Ande Ande Lumut.
Warga perdukuhan curiga dengan kedatangan tamu tak diundang ini yang merupakan wong alas. Hingga akhirnya warga perdukuhan pindah tempat dan muncul mitos bahwa lagu Ande Ande Lumut merupakan lagu untuk memanggil mereka.
Terkait dengan asal usul wong alas, menurut pemerhati sejarah Kabupaten Purbalingga, Catur Purnawan menuturkan bahwa wong alas tidak lepas dari kisah Syekh Jambu Karang, seorang bangsawan dari Kerajaan Pajajaran yang awalnya bernama Raden Mundingwangi.
BACA JUGA:Empat Larangan Suku Dayak, Nomor 3 Bikin Nyesal Selamanya
Saat itu, dia bersama rombongan sedang menyendiri ke wilayah Pengunungan Ardi Lawet. Disanalah Raden Mundiwangi dan rombongan bertemu dengan Syekh Atas Angin, seorang penyebar agama Islam.
Saat itu terjadilah pertempuran adu ilmu kesaktian dan berakhir dengan kekalahan Raden Mundiwangi.
Karena kalah, Raden Mundiwangi akhirnya memeluk Islam dan mengganti nama menjadi Syekh Jambu Karang yang petilasannya berada di Desa Panusupan, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga dan hingga sekarang menjadi salah satu objek wisata religi.
Namun jejak Raden Mundiwangi yang menjadi mualaf ini tidak diikuti oleh kelompok rombongannya karena mereka memilih untuk tetap memegang keyakinan yang dia pegang.
BACA JUGA:Suku Huaorani, Manusia Tarzan Paling Ditakuti, Tanpa Busana dan Tangguh Berperang
Kelompok rombongan Raden Mundiwangi ini kemudian mengasingkan diri ke daerah hutan, menjauhkan diri dari pengaruh agama Islam yang sudah dianut oleh sebagian besar masyarakat di Pulau Jawa saat itu dan terus memegang teguh tradisi mereka hingga sekarang.
Dengan berlatar belakang cerita tersebut, mereka akhirnya dikenal juga dengan nama Suku Pijajaran.*