Tradisi Uang Jemputan Bukan 'Membeli Pria' dan Bukan Adat Minangkabau, Begini Faktanya

Tradisi Uang Jemputan Bukan 'Membeli Pria' dan Bukan Adat Minangkabau, Begini Faktanya

Tradisi Uang Jemputan Bukan 'Membeli Pria' dan Bukan Adat Minangkabau, Begini Faktanya--

RADARMUKOMUKO.COM - Adat pernikahan wanita 'membeli pria' sering dianggap tradisi minangkabau, padahal tidak demikian. Tradisi bukan ada di minangkabau secara keseluruhan, tapi hanya salah satu wilayah di Sumatera barat (Sumbar) atau ranah minang, yaitu di wilayah Padang Pariaman.

Juga tradisi ini bukan membeli pria tapi dinamakan dalam adat setempat uang jemputan dari pihak keluarga perempuang untuk pihak lelaki.

Juga praktek adat serupa banyak terdapat di daerah lain dengan nama atau sebutannya berbeda. Contohnya dalam adat Suku Bugis Makassar disebutnya uang panai. Istilah "jemputan" juga harus dipahami, di minangkabau lelaki yang telah menikah akan menjalani peran sebagai urang sumando. Suami akan meninggalkan rumah orang tuanya dan tinggal di rumah istrinya. 

Setelah menikah, biasanya pihak perempuan bersama keluarganya akan menjemput pihak lelaki. Saat momen penjemputan, keluarga perempuan harus berbesar hati menyerahkan sejumlah harta uang japuik kepada pihak lelaki. Maka dalam hal ini perlu ditegaskan, bukan membeli tapi uang jemputan.

Kisahnya, melansir dari saribundo.biz, tradisi bajapuik sudah ada dari sejak dulu, bermula dari kedatangan Islam ke nusantara. 

BACA JUGA:Tradisi Membuang Orang Tua Renta di Jepang Dengan Dibiarkan Mati di Hutan Antara Fakta dan Dongeng

BACA JUGA:Ditemukan Berkas Lamaran PPPK 2023 Kurang Syarat, Apakah Anda Termasuk? Ini Solusinya

Hal ini juga yang melatarbelakangi kenapa akhirnya semua adat di Minangkabau berasal dari ajaran Islam, atau bersumber dari Al-Qur’an.

Seperti kata pepatah Minang, “adaik basandi syarak, syarak basandi kitabulloh”. Maka dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, jika ada yang bertentangan dengan ajaran islam maka adatlah yang akan ‘Dibuang’

Balik kecerita awal, dulunya orang asli Pariaman adalah penduduk pesisir yang memiliki mata pencaharian nelayan. Mereka hidup dari hasil melaut di pantai pariaman. 

Hingga kemudian datang lah orang rantau dari daerah bukit-tinggi Padang Panjang. Mereka merantau dan mulai bertempat tinggal dan berocok tanam sebagai petani di Pariaman.

Para perantau ini ingin mengawinkan anak gadis mereka dengan laki-laki asli Pariaman. Namun, karena orang Pariaman dulunya miskin, dan untuk mengangkat derajat calon suami mereka tersebut, keluarga wanita pun menjemput dan memberikan sejumlah harta untuk calon suaminya dengan tujuan mengangkat derajat calon suaminya tersebut.

Suami mereka pun akan dihormati di keluarga istrinya, dipanggil dengan gelar mereka, misal sidi, bagindo atau sutan. 

Setelah menikah, suami tinggal di rumah istrinya, di rumah tersebut, suami mereka dipanggil dengan hormat sesuai dengan gelarnya, tidak boleh dipanggil dengan nama aslinya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: