Pada abad ke-19, malaria menjadi penyakit yang mematikan di dunia, terutama di daerah tropis seperti negara Indonesia.
Banyak orang Eropa yang datang ke Indonesia untuk berdagang atau menjajah terserang malaria dan meninggal.
Oleh karena itu, mereka mencari cara untuk mencegah dan mengobati penyakit ini.
Salah satu cara yang ditemukan adalah dengan menggunakan obat antimalaria dari kulit kayu kina.
Kina berasal dari Amerika Selatan, terutama Peru dan Bolivia. Orang Eropa pertama kali mengetahui khasiat kina dari penduduk asli Inka yang menggunakan kulit kayu kina sebagai obat demam.
Orang Eropa kemudian membawa bibit kina ke Eropa dan mencoba menanamnya di sana.
Namun, ternyata kina tidak dapat tumbuh dengan baik di iklim Eropa. Oleh karena itu, mereka mencari tempat lain yang lebih cocok untuk menanam kina.
Salah satu tempat yang dipilih adalah Indonesia, terutama Jawa. Pada tahun 1854, pemerintah kolonial Belanda mendirikan Kebun Raya Bogor sebagai pusat penelitian dan pengembangan tanaman tropis.
BACA JUGA:Dukung Program Subsidi Kabel Listrik Pemkab Mukomuko, Catatan Wajib Memenuhi SLO
Di sini, bibit kina dari Amerika Selatan ditanam dan dikembangbiakkan.
Pada tahun 1865, pemerintah kolonial Belanda mendirikan perusahaan Cultuur Maatschappij der Vorstenlanden (CMV) untuk mengelola perkebunan kina di Jawa.
Perusahaan ini menanam kina di daerah pegunungan yang memiliki iklim sejuk dan lembab, seperti Wonosobo, Banjarnegara, Baturaden, dan Cibodas.
Perkebunan kina ini menjadi salah satu sumber pendapatan bagi pemerintah kolonial Belanda. Kulit kayu kina diekspor ke Eropa dan dijual dengan harga tinggi sebagai obat antimalaria.
Perkebunan kina juga menjadi sumber pekerjaan bagi masyarakat sekitar yang bekerja sebagai buruh atau mandor.
Perkebunan kina juga memiliki dampak sosial dan budaya bagi masyarakat sekitar. Perkebunan ini menjadi tempat pertemuan antara berbagai suku dan agama yang hidup di daerah pegunungan Jawa.