Namun apa yang hendak dikata, setelah keluarga kenyataan pahit dihadapi, mereka tak punya apa-apa dan semua keluarga terpisah-pisah.
Rumah dan tanah di Desa Cakung Payangan, Bekasi sudah habis dijual untuk membiayai perkara yang tidak mereka lakukan itu.
Tanah dijual istrinya untuk menghidupi anak-anaknya dan membiayai dirinya saat diproses di polisi dan pengadilan.
Saat itu Sengkon tidak mungkin meneruskan pekerjaannya sebagai petani, karena sakit TBC terus merongrong dan terlalu banyak bekas luka di badan akibat siksaan yang dideranya.
Sengkon dan Karta juga mengajukan tuntutan ganti rugi Rp 100 juta kepada lembaga peradilan yang salah memvonisnya. Namun Mahkamah Agung menolak tuntutan tersebut dengan alasan Sengkon dan Karta tidak pernah mengajukan permohonan kasasi atas putusan Pengadilan Negeri Bekasi pada 1977.
‘Saya hanya tinggal berdoa agar cepat mati, karena tidak ada biaya untuk hidup lagi’ kata Sengkon. Karta tewas dalam sebuah kecelakaan, sedangkan Sengkon meninggal kemudian akibat sakit parahnya.*