Sebagaimana yang tulis Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat (1965). Ia menjelaskan pandangan Bung Karno yang mengagungkan orang Indonesia sebagai bangsa yang hidup dalam getaran perasaan.
“Manusia Indonesia hidup dengan getaran perasaan. Kamilah satu‐satunya bangsa di dunia yang mempunyai sejenis bantal yang dipergunakan sekedar untuk dirangkul. Di setiap tempat‐tidur orang Indonesia terdapat sebuah bantal sebagai kalang hulu dan sebuah lagi bantal kecil berbentuk bulat‐ panjang yang dinamai guling. Guling ini bagi kami gunanya hanya untuk dirangkul sepanjang malam.”
Tak hanya Bung Karno. Achmad Sunjayadi, dalam buku Pariwisata di Hindia-Belanda 1891–1942 (2019) juga mengangkat keistimewaan guling. Ia bercerita, penulis Inggris, William Basil Worsfold yang berkunjung ke Jawa pada 1892 menyatakan sangat puas dengan pelayanan hotel-hotel yang ada di Jawa.
“Di depan kamar masing-masing terdapat beranda. Tempat tidur dilengkapi kelambu untuk menghindari nyamuk pada malam hari. Di atas tempat tidur ada bantal dan guling yang disebut 'Dutch Wife.'”
BACA JUGA:Cerita Penjajahan Yang Diajarkan di Sekolah Belanda, Berbeda Dengan Buku Sejarah Indonesia
Masih dilansir dari voi.id, dijelaskan Haryoto Kunto & Deddy H. Pakpahan dalam Seabad Grand Hotel Preanger, 1897-1997 (2000), sebagian orang Belanda memanfaatkan guling untuk melepas kerinduan terhadap pasangan di negeri Belanda. Lantas, lewat bantal guling mereka kemudian berfantasi seakan-akan benda tersebut merupakan wanita yang dicintainya.
“Bagi pemuda dan pria Belanda yang tinggal di Nusantara, meninggalkan kekasih atau istrinya jauh di negeri Belanda sana, mereka mengobati rasa rindunya dengan cepat berangkat tidur, mengkhayal, seraya memeluk guling erat-erat,” tulisnya.
Cerita soal istri Belanda pun dihadirkan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam buku Tetralogi Pulau Buru, Jejak Langkah (1985). Dalam satu cerita, Pram menggambarkan percakapan yang jenaka antar sesama mahasiswa kedokteran di sekolah Dokter Jawa, School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA).
Cerita bermula dari salah seorang yang bernama Wilam membuka percakapan jenaka terkait kehidupan tuan tanah di Hindia-Belanda. Teman-temannya sesama mahasiswa, termasuk Minke ikutan menyimak. “Tahu kalian apa sebab di dalam asrama tidak boleh ada guling?”
Pertanyaan Wilam membuat seisi asrama terdiam menyimak. Ia melanjutkan ceritanya, “Kalian dengarkan baik-baik aku ceritai. Guling, yang kalian sukai di ranjang itu tak akan ditemukan di negeri-negeri lain di dunia. Setidak-tidaknya begitu cerita mamaku. Tak tahulah sepuluh tahun mendatang.”
Lebih lanjut, Wilam menjelaskan eksistensi guling bermula saat orang-orang Belanda dan Eropa lainya datang ke Hindia tak membawa serta perempuan. Alhasil, mereka terpaksa menggundik.
“Tapi orang Belanda terkenal sangat pelit. Mereka ingin pulang ke negerinya sebagai orang berada. Maka banyak juga yang tak mau menggundik. Sebagai pengganti gundik mereka membikin guling –gundik yang tak dapat kentut itu.”
Untuk itu, Wilam berani menjamin sejarah guling tak akan ada pada sastra Jawa atau sastra Melayu. “Itu memang bikinan Belanda tulen, gundik tak berkentut. Dutch Wife.”
Selebihnya Wilam bercerita bahwa orang yang pertama kali memberikan nama Dutch wife adalah Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Thomas Stamford Raffles (1811–1816). Hal itu menjadi bukti bahwa ketika inggris menjadi penguasa Hindia, orang Inggris pun ikut-ikutan menyukai tidur dengan guling.
“Bila datang ke Hindia sini, pertama-tama yang dimintanya adalah justru si Dutch wife, gundik tak berkentut itu. Orang Belanda menganggap orang Inggris pelit-pelit di dunia, paling rakus dan sekakar, (sehingga) orang belanda membalas menamai Dutch Wife, sebagai British Doll,” tulis Pram.*