RADARMUKOMUKO.COM - Salah satu tradisi yang cukup dikenal dan unik yaitu, Tradisi Siraman Pusaka Gong Kyai Pradah merupakan salah satu bentuk budaya lokal di Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur.
Tradisi ini sampai sekarang masih tetap diselenggarakan oleh masyarakat pendukungnya di Lodoyo, Kecamatan Sutojayan, Kabupaten Blitar. Waktu pelaksanaan tradisi siraman pusaka Gong Kyai Pradah setahun dua kali, berdasarkan perhitungan kalender Jawa yaitu setiap tanggal 12 Mulud dan tanggal 1 Sawal.
Penentuan tanggal pelaksanaan tersebut berdasarkan pesan dari Pangeran Prabu yang diwariskan secara turun-temurun kepada generasi penerusnya. Masyarakat pendukungnya percaya bahwa tradisi ini masih bermanfaat dalam kehidupannya.
BACA JUGA:5 Jenis Rumah Adat Tradisional Provinsi Kalimantan Barat serta Keunikannya
Melansir dari berbagai sumber, salah satunya warisanbudaya.kemdikbud.go.id, dibalik tradisi ini tersimpan sebuah cerita yang cukup menarik. Gong Kiyai Pradah diyakin bukan benda alat musik biasa, tetapi mimiliki kesaktian. Dimana Pusaka ini dikatakan milik Panembahan Senopati Raja Pertama Mataram Islam. Dimana pusaka berbentuk alat musik gamelan itu berasal dari Ki Ageng Selo, tokoh sakti penangkap petir berdarah keturunan Majapahit.
Bahkan diceritakan, Kiai Bicak Panembahan Senopati berhasil mengusir pasukan Kerajaan Pajang yang dipimpin Sultan Hadiwijaya saat hendak menaklukkan Mataram dengan pusaka ini.
Singkat cerita, pada saat penobatan tahta Kerajaan Kartasura Sri Susuhunan Pakubuwono I, ia mempunyai saudara dari selir ayahnya bernama Pangeran Prabu.
Ketika Sri Susuhunan Pabubuwono I dinobatkan sebagai raja, Pangeran Prabu merasa sakit hati hingga ingin melakukan kudeta dan berniat membunuh Sri Susuhunan Pabubuwono I. Namun upayanya ketahuan, maka sebagai hukuman atas kesalahannya itu Pangeran Prabu ditugasi menebang kayu di hutan Lodoyo.
Dulu hutan Lodoyo dikenal sangat wingit (angker) dan banyak dihuni binatang buas. Karena Pangeran Prabu merasa salah, untuk menebus kesalahannya beliau berangkat ke hutan Lodoyo dan diikuti istrinya Putri Wandansari dan abdinya Ki Amat Tariman dengan membawa pusaka bendhe yang diberi nama Kyai Bicak.
BACA JUGA:Tradisi Unik Perkawinan di Berbagai Daerah, Jika Dapat Jodoh Disini Siapkan Uang Banyak-Banyak
BACA JUGA:Ini Dia 2 Jenis Rumah Adat Tradisional Provinsi Jambi Serta Keunikannya
Dengan meninggalkan istana mereka keluar masuk hutan, naik turun gunung, menyusuri lembah ngarai hingga akhirnya tiba di kawasan Lodoyo yang masih merupakan hutan belantara yang sangat angker.
Pengembaraan jauh itu mereka lakukan dengan penuh ketabahan, karena mereka percaya tidak akan menghadapi marabahaya selama mereka membawa pusaka bendhe Kyai Bicak.
Sementara untuk menenangkan hati, Pangeran Prabu melakukan nepi (menyendiri) di hutan Lodoyo dan bendhe Kyai Bicak dan abdi setianya Ki Amat Tariman dititipkan kepada Nyi Rondho Patrasuta, beliau meninggalkan pesan bahwa setiap tanggal 12 Mulud dan tanggal 1 Sawal supaya bendhe tersebut disucikan dengan cara disirami atau dijamasi air bunga setaman dan air bekas jamasan tersebut bisa untuk mengobati orang sakit dan sebagai sarana ketentraman hidup.