Namun dibalik kesuksesan ini, Barisan Maling (BM) dan Barisan Wanita Pelacur (BWP) bentukan Mayjen Prof Drg Moestopo, penasihat khusus militer Presiden Soekarno ini juga menjadi senjata makan tuan.
Bagaimana tidak, bukan saja Belanda yang menjadi korban mereka, para pemuda indonesia yang gerilya di garis depan ikut sering berinteraksi dengan para perempuan muda yang berpengalaman soal s3ks tersebut. Maka sudah pasti, penyakit menular seksual pun menghinggapi para pasukan Republik.
Kolonel Nasution bahkan sempat menerima laporan bahwa ada Taruna Akademi Militer yang sedang praktik perang di front pertempuran ikut menjadi korban pasukan pelacur ini.
Pasukan khusus copet dan pelacur makin menggila, tidak lagi hanya pasukan Belanda, para maling ini pun menyasar rumah warga biasa. Tentu saja hal ini malah menambah masalah.
BACA JUGA:Soekarno Marah Pada Presiden Amerika Karena Tak Disambut, Ternyata Karena Ada Tokoh PKI Aidit
Lucunya lagi, bukan hanya warga dan prajurit yang menjadi korban dari Barisan Terate, barang pribadi Jenderal Moestopo yang merupakan komandan yang membentuk mereka juga ikut jadi sasaran maling. Kopernya yang berisi pakaian dan uang raib oleh pasukan yang dibentuknya.
Suatu hari sang jenderal melapor pada Letkol Sukanda Pratamanggala bahwa dirinya kehilangan baju. Bukannya penasaran dan menyelidiki siapa pencurinya, Sukanda malah tertawa terbahak-bahak.
Moestopo yang bingung lantas bertanya kenapa dia tertawa. Perwira menengah itu menjawab bahwa pelaku pencurian itu “pasukan khususnya”.
Kapok dengan kelakuan kombatan dadakan ini, beberapa hari kemudian Moestopo menarik unit-unit itu dari front sekaligus membubarkannya.
Ketika bertemu Presiden Soekarno di lain waktu, Moestopo kembali menceritakan senjata makan tuan dari pada prajurit bentukannya. Bung Karno pun ikut tertawa terbahak-bahak.
BACA JUGA:Kisah Soekarno Saat Meninggalkan Istanaa, Jangan Pernah Membawa Barang Milik Negara
Adapun cerita pembentukan pasukan khusus pelacur dan copet ini yaitu, Pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia, kondisi negara masih mecekam dan jauh dari ketenangan. Pada tahun 1946-1947, suasana di kota Yogyakarta penuh dengan pengungsi dan kehidupan yang sangat sulit.
Untuk bertahan hidup, demi sesuai nasi banyak yang menghalalkan segala cara. Maka aksi Begal, pencopet, dan maling senantiasa terjadi, siang maupun malam.
Parahnya laki praktek porstitusi juga meraja lela, pelacur beroperasi di sudut-sudut kota tanpa ada rasa takut dan malu.
Sri Sultan Hamengkubuwo pusing tujuh keliling hingga Sultan Hamengkubuwono IX meminta Mayjen Prof Drg Moestopo, penasihat khusus militer Presiden Soekarno untuk ikut memikirkan solusi membersihkan penyakit masyarakat.
Bukannya melakukan penertiban seperti yang diharapkan banyak orang, sang jendral dengan otak militernya memberdayakan copet, maling, perampok dan pelacur untuk ikut berjuang dalam revolusi.