Perang antara Kesultanan Buton dan Belanda meletus pada tahun 1752, ketika La Karambau menolak untuk menghadiri rapat dengan pejabat-pejabat Belanda di Makassar.
Ia juga menolak untuk mengirimkan upeti kepada Belanda sebagai tanda pengakuan atas kekuasaan mereka.
BACA JUGA:Kisah Tante Dolly Perintis Bisnis Esek-Esek Gang Dolly, Sumber Perekonomian Andalan Sebelum Ditutup
Belanda kemudian mengirimkan pasukan untuk menyerang Benteng Wolio, benteng utama Kesultanan Buton yang terletak di Kota Baubau.
Namun, serangan Belanda gagal total karena Benteng Wolio memiliki pertahanan yang sangat kuat tidak tembus peluru. Benteng ini dibangun dari batu karang yang dipadatkan dengan putih telur dan getah pohon.
Benteng ini juga memiliki tembok setebal 3 meter dan setinggi 10 meter, serta dilengkapi dengan meriam-meriam besar.
Selain itu, pasukan Buton yang dipimpin oleh La Karambau juga berani dan tangguh dalam bertempur.
Belanda kemudian mencoba menyerang benteng lain milik Kesultanan Buton, yaitu Benteng Lohia dan Benteng Kapontori.
Namun, serangan-serangan ini juga gagal karena pasukan Buton berhasil mempertahankan benteng-benteng tersebut dengan gigih.
Perang antara Kesultanan Buton dan Belanda berlangsung selama 24 tahun, dari tahun 1752 hingga 1776.
BACA JUGA:Bisa Bikin Kepor, Ilmu Hitam Paling Ternama dan Asal Negara dan Daerahnya
BACA JUGA:Di Livin' Mandiri Bisa Pinjam Rp 50 Juta Hingga 1,5 Miliar Tanpa Jaminan, KSM dan KKB
Selama itu pula, Belanda tidak pernah berhasil menjatuhkan atau merebut benteng-benteng Kesultanan Buton.
Perlawanan suku Buton yang dipimpin oleh La Karambau ini merupakan salah satu perlawanan rakyat Indonesia yang paling mengagumkan Belanda.
Perlawanan ini menunjukkan bahwa suku Buton memiliki semangat juang yang tinggi dan tidak mau tunduk kepada penjajah asing.