Terkait kekerasan seksual terhadap perempuan, sejumlah literatur menggambarkan, Jepang lebih ganas dibanding Belanda.
"Kebijaksanaan rekreasi dari ketentaraan diatur sepenuhnya oleh Pusat Komando Tentara Jepang. Bila tentaranya sudah berada di barak-barak dan memerlukan wanita sebagai hiburan, oleh karenanya mereka mengumpulkan wanita-wanita Jawa, khususnya Batavia," tulis R P Suyono dalam bukunya 'Seks dan Kekerasan pada Zaman Kolonial.
BACA JUGA:Saat Presiden Soekarno Resah, Menyadari Sahabatnya Bung Hatta Belum Menikah Diusia 43 Tahun
Sebelum menyasar wanita pribumi, wanita keturunan China dan Korea-lah yang menjadi korban pemerkosaan dan kejahatan seksual lainnya.
Tahun 1942, Jepang memulai praktik prostitusi secara terbuka di Semarang. Awalnya mereka hanya mengincar penduduk etnis China di sana.
"Kemudian disusul dengan mengambil wanita-wanita Indonesia dan akhirnya menyusul gadis-gadis Indonesia di daerah lain seperti Surabaya hingga Batavia," ungkap Suyono dilansir dari kumparan.com.
Dikutip dari buku Jawa Shimbun, para wanita pribumi yang diiming-imingi menjadi perawat harus menyertakan foto-foto diri.
Untuk lebih meyakinkan, ada anak bupati dan wedana yang dijadikan contoh. Anak-anak bangsawan itu disebut Jepang, bersedia berangkat untuk mengikuti pendidikan.
Akibat pelacuran yang dipaksakan, banyak terjadi pembunuhan bayi yang tidak dikehendaki.
Selain itu, banyak yang memilih bunuh diri dibanding harus memuaskan nafsu tentara tentara Jepang.
Jepang juga mengirim perempuan asal negeri mereka sendiri untuk jadi penghibur di Hindia-Belanda.
Mereka biasa disebut karayukisan. Kebanyakan dari mereka merupakan anak petani atau nelayan dari daerah miskin di Jepang.
Merekalah yang dijadikan selir tentara atau hanya jadi pelacur di rumah bordil. Semua tergantung otoritas ketentaraan.
Kamp tawanan tersebut dimaksudkan sebagai tempat untuk mengumpulkan para wanita dan anak anak Belanda. “Anak-anak juga melihat ibunya diperkosa secara membabi buta”.*