Terharu juga dengan apa yang telah dilakukan suaminya. Dalam keadaan serba sulit, ia masih memperhatikan keperluan sang istri. Selain bedak, Sudirman juga membelikan baju. Dipeluknya baju itu. Tercium wangi baju baru.
BACA JUGA:5 Bentuk Kekejaman Belanda Pada Masyarakat Indonesia, Tanam Paksa, Kerja Rodi Hingga Pelecehan
BACA JUGA:Indonesia Dijajah Belanda 350 Tahun Ternyata Mitos, Begini Fakta dan Penjelasannya
Untuk beberapa saat, Alfiah hanya bisa terdiam. Kehabisan kata-kata. Ketika Sudirman mengusap pipinya, pertahanan itu jebol. Alfiah tak kuasa untuk tidak menitikan air mata. Sudirman memeluknya.
"Kau senang, Bu?" tanyanya. Alfiah tak menjawab, hanya mengangguk. Tangannya sibuk menyeka air mata.
Melansir dari liputan6.com, seolah-olah mendapat firasat hari kematiannya segera tiba, pada 18 Januari 1950, Soedirman meminta sejumlah petinggi tentara menemuinya di Badakan. Esok harinya, ia memanggil istri dan tujuh anaknya.
Dia memberi wejangan kepada istri dan anak-anaknya. Sesekali, Soedirman juga mengajak mereka bergurau.
Saat itu, dia mengatakan ingin hidup seperti Lurah Pakis, kenalannya. Lurah itu hidup sampai tua dan bisa meminang cucu.
Pada Senin, 29 Januari 1950, kondisi tubuh Jenderal Soedirman semakin lemah.
Berlinang air mata, Siti Alfiah meminta suaminya tegar. Soedirman menatap istrinya dan meminta perempuan yang dicintainya itu menuntunnya membaca kalimat tauhid. Satu kalimat terucap, Soedirman kemudian mangkat.
Soedirman pergi dalam usia muda, 34 tahun.
Esok harinya, ribuan orang ikut mengantarkan jenazahnya ke Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Hari itu hujan turun lebat mengguyur Kota Yogyakarta.
Tembakan salvo satu regu tentara di pemakaman Semaki mengantar Jenderal Besar itu ke tempat peristirahatan terakhirnya.
Dia dinobatkan sebagai Pahlawan Pembela Kemerdekaan. Pada 1997, dia mendapat gelar sebagai Jenderal Besar Anumerta dengan bintang lima, pangkat yang hanya dimiliki oleh beberapa jenderal saja di negeri ini sampai sekarang.*