Tujuannya untuk menyingkirkan pengaruh-pengaruh dari barat dan menegaskan bahwa Jepang merupakan saudara seperjuangan dalam perang dan penyelamat bagi Asia termasuk Indonesia sendiri.
Merasa Jepang sebagai penyelamat dan bisa menjadi andalan, masyarakat Indonesia ikut agresif dan menyerang serdadu-serdadu dan warga sipil Belanda.
Satu-satunya cara menyelamatkan diri, yaitu menjadi tawanan pihak Jepang.
Melansir dari aartreya.com, menurut Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern, selama setahun lamanya perkiraan tentang jumlah seluruh tawanan Jepang sekitar 170.000 orang, 65.000 orang diantaranya adalah tentara Belanda, 25.000 orang adalah serdadu-serdadu sekutu lainnya dan 80.000 adalah warga sipil (wanita dan anak-anak).
Kondisi kamp-kamp tawanan sangatlah buruk. Kurang lebih 20 persen tawanan militer Belanda, 13 persen warga sipil wanita, dan 10 persen anak-anak meninggal dunia.
Hal ini menandakan bahwa Jepang benar-benar tak pandang bulu soal penyingkiran dan menghapus pengaruh dari barat.
Hampir semua tahanan penuh. Bahkan diceritkan gadis-gadis muda Belanda dan sekutunya diambil untuk dijadikan pelacur, bekerja di restoran-restoran, untuk melayani para militer Jepang.
Laki-laki dikerja paksa dan jika ketahuan tidak patuh atau salah, maka akan menerima siksaan.
Maka ada kemungkinan, kekejaman Jepang ini turut menyebabkan menurunnya orang-orang Belanda yang bertahan di Indonesia, walaupun setelah Belanda yang memboncengi Sekuti kembali masuk ke Indonesia dan membebaskan tahanan.
Para orang-orang Belanda yang sudah dibebaskan sempat menegakkan kembali kolonialisme-imperalisme di Indonesia.
Juga pendapat lain yang banyak disampaikan penyebab tidak banyaknya orang Belanda di Indonesia, karena terjadinya tragedi "Masa Bersiap" yang diberikan oleh Belanda untuk merujuk pada kekacauan dan kengerian akibat dari revolusi di Jawa, yang terjadi pada tahun 1945–1947.
BACA JUGA:Mengungkap Misteri Tenggelamnya Titanic : Apakah Kru Titanic Berusaha Mencegah Tenggelamnya Kapal?
Huru-hara, pembantaian, dan perampokan massal dilakukan dilakukan oleh masyarakat pro-kemerdekaan, atau yang biasa disebut sebagai Pemoeda dan Pelopor pada pada tahun 1945–1947, setelah proklamai kemerdekaan.