Pada 16 Februari 1830, memperhatikan posisinya yang lemah akhirnya Pangeran Diponegoro setuju untuk bertemu dengan utusan Jenderal De Kock, yakni Kolonel Jan Baptist Cleerens.
BACA JUGA:7 Perang di Daerah, Walau Senjata Tradisional, Belanda Babak Belur
Pada 20 Februari 1830, pertemuan antara kedua belah pihak tidak menghasilkan kesepakatan dan Pangeran Diponegoro menyatakan ingin bertemu langsung dengan Jenderal De Kock.
Akhirnya pada 25 Maret 1830, Jenderal De Kock memerintahkan Letnan Kolonel Louis du Perron dan Mayor A.V Michiels untuk mempersiapkan perlengkapan militer dan merencanakan penangkapan Diponegoro.
Pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Pada akhirnya, setelah pengkhianatan tersebut Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa pengikutnya dilepaskan.
Penyerahan diri Pangeran Diponegoro pun menandai berakhirnya Perang Diponegoro atau perang Jawa pada tahun 1830.
BACA JUGA:Konfrontasi Indonesia dengan Malaysia, Perang Dua Negara Serumpun Yang Tak Terpisahkan
Setelah ditangkap di Magelang, Pangeran Diponegoro sempat diasingkan di Gedung Karesidenan Semarang yang berada di Ungaran, sebelum dibawa ke Batavia pada 5 April 1830 dengan menggunakan kapal Pollux.
Pangeran Diponegoro tiba di Batavia pada 11 April 1830 dan ditawan di stadhuis (Gedung Museum Fatahillah). Dari Batavia, Pangeran Diponegoro kemudian dipindahkan ke Manado pada 30 April 1830 dan tiba pada 3 Mei 1830 untuk kemudian ditawan di Benteng Nieuw Amsterdam.
BACA JUGA:Suku-Suku yang Pernah Berperang dengan Nabi Muhammad SAW
Pada 1834, Pangeran Diponegoro dipindahkan ke Makassar dan terus diasingkan hingga wafat di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.
Perang ini menelan korban tewas sebanyak 200.00 jiwa penduduk Jawa, korban tewas di pihak Belanda berjumlah 8.000 tentara Belanda dan 7000 serdadu pribumi. Kekalahan Pangeran Diponegoro menegaskan penguasaan Belanda atas Pulau Jawa. Hingga Raja dan bupati Jawa tunduk kepada Belanda.*