Salah satu sebabnya karena penutur bahasa minoritas ini tidak memiliki sistem penulisan yang bisa mengabadikan pelafalan bahasa mereka sendiri.
Sehingga pengaruh bahasa mayoritas bisa menggerus pemakaian bahasa kaum minoritas itu.
BACA JUGA:Suku Ruc, Ditakuti Harimau Hingga Gajah dan Mantra Mencegah Hamil
Lantas Amirul teringat kepada Suku Cia Cia, penutur bahasa Buton Selatan sejenis bahasa tutur Austronesia, namun tidak memiliki sistem aksara sendiri.
Karena bahasa ini merupakan bahasa lisan yang tidak mempunyai sistem penulisan.
Dari fenomena inilah kemudian Pemerintah Kota Bau-bau berupaya mencari aksara yang cocok dengan bahasa Cia Cia agar bisa didokumentasikan.
Alasan penggunaan Hangeul lainnya adalah karena status Kota Baubau dan Kota Seoul yang merupakan sister city, sehingga keduanya kerap melakukan kerjasama.
Semula dipertimbangkan untuk menggunakan bahasa Arab, seperti bahasa Wolio, bahasa yang digunakan oleh sebagian besar penduduk Buton.
Namun, bunyi konsonan bahasa Cia Cia tidak bisa ditulis semuanya dalam bahasa Arab.
BACA JUGA:Suku Togutil Penjaga Hutan Halmahera, Masuk ke Wilayahnya Bisa Hilang
Organisasi Korea Hunminjeongeum Research Institute datang ke Buton pada tahun 2008.
Kedatangan tim ini berdasarkan saran dari Profesor Chun Thay Hyun yang pernah berkunjung ke Buton dalam rangka keperluan penelitian. Sang Profesor datang sekitar tahun 2005.
Profesor mengatakan jika pelafalan bahasa Cia Cia mengingatkannya kepada bahasa Korea.
Institut ini telah bertahun-tahun menyebarkan penggunaan abjad Korea di seluruh Asia.
Pemerintah Kota Bau-bau kemudian bekerjasama dengan Hunminjeongeum Research Institute untuk menyusun bahan ajar dan kurikulum muatan lokal mengenai bahasa Cia Cia dengan huruf Korea.
BACA JUGA:Cara Tradisi Khitan Anu Perempuan di Suku Sabiny, Pasti Sakit Sekali