RADARMUKOMUKO.COM - Lain lagi cerita tradisi suku di negeri China satu ini, yaitu Suku Mosuo. Dalam suku ini perempuan paling berkuasa. Mosuo sering disebut Na di kalangan mereka sendiri, adalah sebuah kelompok etnis kecil yang tinggal di provinsi-provinsi Yunnan dan Sichuan, Tiongkok, dekat perbatasan dengan Tibet. Kebanyakan dari mereka tinggal di wilayah Yongning, sekitaran Danau Lugu, Labai, Muli, dan Yanyuan.
Beda dengan yang ada di Indonesia dan sebagian besar negara dan suku lainnya, dimana fungsi lelaki dan perempuan sudah tergambar dengan jelas.
BACA JUGA:Tradisi Kawin Culik Suku Sasak, Larikan Pacar dalam Gelap Malam
Lelaki yang bekerja mencari nafkah, sementara perempuan identik dengan pekerjaan rumah tangga. Walau banyak kaum perempuan yang bekerja, namun pada hakikatnya stigma kaum hawa adalah melakukan pekerjaan rumah.
Suku Mosuo penganut matriarkat, dimana perempuan kedudukannya lebih tinggi daripada lelaki. Mungkin ini satu-satunya suku atau negara yang mana perempuan punya kedudukan lebih tinggi.
Di suku ini wanita telah memimpin Mosuo selama 2.000 tahun jadi wanita memiliki hak untuk memutuskan segalanya.
Sedangkan pria justru tidak dihormati.
BACA JUGA:Jika Gagal Tes Keperawanan Gunakan Buluh, Gadis Suku Zulu Terancam Dibunuh
Dilansir dari berbagai sumber, Suku Mosuo juga tidak mengindahkan perkawinan. Mereka justru menjalankan sistem Walking Marriage atau Axia.
Walking Marriage berarti pernikahan berjalan. Artinya, masyarakat Suku Mosuo bebas memilih pasangan, tanpa perlu adanya ikatan pernikahan.
Dalam tradisi ‘Walking Marriage’, tiap wanita yang sudah mengalami menstruasi berhak memilih dan berganti-ganti pasangan. Sang wanita hanya tinggal menunggu pria yang ingin ‘melamar’nya di kamar.
Prosesnya cukup unik karena sang pria harus masuk lewat jendela atau pintu belakang. Agar tak ada pria lain yang masuk, biasanya pasangan tersebut menggantungkan topinya di jendela.
BACA JUGA:Suku Brokpa, Bebas Ciuman dan Berbagi Istri Depan Umum, Demi Warisan
Setelah itu, wanita Suku Mosuo boleh menerima atau menolak pria tersebut. Jika cocok, mereka akan melanjutkan hubungan tanpa adanya status pernikahan. Jika si wanita tak cocok, ia boleh memilih pria lainnya.
Budaya ini bisa dilakukan semata-mata jika wanita tersebut sudah dianggap dewasa. Setelah dinyatakan dewasa, wanita itu bebas 'mengundang' pria.