Menurut Ustadz Adi Hidayat: Hadits Pembagian Ramadhan Menjadi Tiga Bagian, Adalah Palsu?

Menurut Ustadz Adi Hidayat: Hadits Pembagian Ramadhan Menjadi Tiga Bagian, Adalah Palsu?

Menurut Ustadz Adi Hidayat: Hadits Pembagian Ramadhan Menjadi Tiga Bagian, Adalah Palsu?-Ilustrasi-radarmukomuko.com

RADARMUKOMUKO.COM - Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan keberkahan dan rahmat Allah SWT. 

Namun, apakah benar bahwa Ramadhan terbagi menjadi tiga bagian, yaitu sepuluh hari pertama rahmat, sepuluh hari kedua ampunan, dan sepuluh hari ketiga pembebasan dari neraka? 

Ustadz Adi Hidayat (UAH) mengatakan bahwa hadits yang menyebutkan hal tersebut adalah hadits palsu atau setidaknya semi palsu.

Dalam sebuah video yang viral di media sosial, UAH menjelaskan bahwa hadits yang diriwayatkan dari Salman al-Farisi ra. 

Tentang pembagian Ramadhan menjadi tiga bagian adalah hadits yang dhaif (lemah) atau munkar (tercela). Hadits tersebut berbunyi:

Di akhir bulan Sya’ban, Rasulullah Saw berkhutbah: “Wahai manusia, bulan yang mulia sudah dekat... (Sepuluh) Pertamanya rahmat, pertengahannya ampunan dan akhirnya pembebasan dari neraka.”

BACA JUGA:Harimau Berkeliaran di Perkebuan Sawit, Ini Pesan dari BKSDA Untuk Warga

BACA JUGA:Niat Puasa 1 Bulan Penuh dan Niat Puasa Setiap Hari Agar Puasanya Sah Walau Lupa

Menurut UAH, hadits ini bertentangan dengan hadits shahih yang menyatakan bahwa siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan keikhlasan diampuni dosanya yang telah berlalu. 

Hadits shahih ini tidak membedakan antara awal, tengah, atau akhir Ramadhan. Seluruhnya adalah rahmat dan ampunan.

UAH juga mengkritik para dai yang menggunakan hadits dhaif ini untuk mengajak umat Islam berlomba-lomba dalam beribadah di sepuluh hari terakhir Ramadhan. 

Ia mengatakan bahwa hal ini tidak sesuai dengan sunnah Nabi Saw yang beri’tikaf (menetap di masjid) di sepuluh hari terakhir Ramadhan untuk mencari malam Lailatul Qadar, bukan karena hadits dhaif tersebut.

UAH menyarankan agar umat Islam lebih berhati-hati dalam menerima dan menyebarkan hadits, terutama yang berkaitan dengan ibadah. 

Ia mengingatkan bahwa hadits adalah sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an, sehingga tidak boleh sembarangan diambil dan digunakan tanpa penelitian dan verifikasi yang mendalam.*

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: